Catatan: Ramadlan dan Kegagalan Kita Berpuasa

130

Oleh : Hilmi Sirojul Fuadi

Hal baik dari rangkaian fenomena yang muncul di tanah air akibat adanya bulan suci Ramadhan, sedangkal yang saya lihat, barulah sampai pada lahirnya kesempatan untuk mempererat kembali tali hubungan antar manusia; sanak keluarga, kerabat, teman, dan lingkaran sosial lainnya. Berbagai kegiatan macam buka bersama, mudik, halal bi halal dan lain sebagainya terbukti mampu menghadirkan rekonsiliasi yang ampuh. Bahkan, tanpa adanya kegiatan buka bersama yang mewah dan terencana pun, sesungguhnya momen buka dan sahur itu sendiri telah menyediakan sarana untuk membangun kembali harmoni internal rumah tangga; toh pastinya bangun malam bersama-sama dan duduk bersampingan di meja makan akan melahirkan romantika dan komunikasi yang mesra.
Tak hanya sampai di sana, Ramadhan juga memberikan kesempatan untuk menyambungkan kembali hubungan kita dengan mereka yang telah mendahului. Budaya “nyekar” atau ziarah kubur yang dilakukan pada sebelum dan setelah Ramadhan, ia berfungsi menjadi media untuk menjalin kembali keakraban dengan para leluhur, orang tua, kerabat serta guru yang telah mendahului kita meninggalkan dunia ini. Sebenarnya, cukuplah hal di atas membuktikan bahwa Ramadhan adalah momen yang penuh berkah; bahwa ia menjadi momentum persatuan dan kebersamaan yang mesra. Ia juga tak hanya memperbaiki hubungan antar manusia yang masih hidup, tetapi hubungan interlokal antara mereka yang telah mati dengan kita yang masih bisa update status pun, dengan adanya Ramadhan ini menjadi kembali terjalin.
Namun begitu, pada sisi yang lain, saya belum bisa melihat hal substansial yang seharusnya ada pada Ramadhan ini. Saya merasa bahwa “puasa” telah banyak kita khianati bahkan sejak etimologinya. Bagaimana pun, Ramadhan adalah waktunya berpuasa dan puasa adalah menahan diri. Dan apa yang kita pahami dari “menahan diri” itu barulah secara fikih yang administratif, barulah sekadar ritus formalitas. Kita bahkan merasa terbebas dari kewajiban berpuasa ketika adzan maghrib tiba. Sejak itu sampai nanti waktunya imsak, kita tak lagi berpuasa, kita kembali menjadi makhluk serakah yang memakan apa saja.
Memang benar, bagi kita–tepatnya bagi saya yang terlanjur bergaya hidup konsumtif, tamak dan tak tahu diri ini, jangankan beranjak ke derajat berpuasa yang lebih esensial, menjalankan puasa secara administratif pun sulitnya sudah minta ampun. Meski sepanjang siang telah saya habiskan dengan tidur dan bermalasan, tetap saja saya selalu merasa kerepotan. Setiap kali bangun dan maghrib hampir tiba, saya kemudian bertingkah kelaparan lalu sibuk belanja minuman segar. Dan ketika adzan maghrib yang dinanti-nanti itupun akhirnya terdengar, saya kembali menjadi diri saya yang asli, predator buas yang melahap segalanya.
Duhai, padahal administrasi fikih itu teramat enteng dan sangat rentan direkayasa, namun ternyata masih tetap saja terlalu sulit untuk dijalankan dengan sempurna. Lalu bagaimana bisa saya mempersembahkan puasa yang hakiki kepadaNya Yang Maha Hakiki? Berpuasa untuk kepentingan diri sendiri pun rasanya masih teramat jauh. Bila misalnya Ramadhan bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan diet, maka tanggal ketiga atau empat Syawwal pun berat badan yang hilang itu telah tergantikan dan bahkan berlebih.
Ini baru soal makan dan berat badan. Dan puasa, sebagaimana cara pandang tasawwuf, bahkan menurut fikih pun, puasa bukanlah sebatas usaha menahan diri dari godaan makanan saja. Ia adalah perang melawan ego, hasrat berlebih, ide buruk, dan hal negatif lainnya yang bersarang dalam diri. Singkatnya, puasa adalah perjalanan melawan diri sendiri. Menahan dan melindungi diri kita dari segala keburukan diri kita sendiri.
Pertanyaannya, sudah berada di manakah posisi kita dalam peta perjalanan panjang ini? Bulan Ramadhan hanyalah simbol belaka, hanyalah administrasi semata, sejatinya berpuasa tak hanya mesti dilakukan pada bulan yang suci ini. Puasa yang hakiki adalah perjuangan panjang yang harus dilakoni setiap hari.
Jika menilik fenomena membludaknya daya beli pada setiap kali Ramadhan tiba, lagi-lagi harus kita akui kegagalan total kita dalam menjalani puasa, pengkhianatan besar pada makna Ramadhan, dan lebih jauhnya juga merupakan pembangkangan tak sopan kepada Tuhan. Sebab daya konsumsi yang malah meninggi, kebutuhan yang malah meningkat, pengeluaran yang semakin membengkak, jelas saja itu semua bukan perilakunya orang yang berpuasa; ia secara lurus bernegasi dengan konsep puasa itu sendiri.
Memang, budaya “ngabuburit” yang kemudian ditambahi dengan acara jajan bermacam jenis takjil dapat dipahami sebagai pembangun ekonomi kelas menegah ke bawah. Kaum pengangguran dan pedagang miskin dapat menjual kolak, es campur, serta aneka menu takjil lainnya dengan jaminan bakal laku keras. Namun nyatanya, tetap bukan mereka yang menjadi sejahtera. Pedagang elit, pemilik mall, perusahaan produsen busana serta kapitalis raksasa lainnyalah yang paling merasakan ‘berkah’ dari momen Ramadhan dan lebaran ini.
Belanja beberapa stel pakaian bagus dan mahal untuk lebaran, tergoda dengan label diskon besar-besaran, menyumbang kekayaan kepada kaum yang sudah kaya, di manakah makna puasa? Sederhananya, jika kita hanya sanggup berpuasa pada saat Ramadhan tiba, bukankah bulan Ramadhan itu seharusnya menjadi bulan yang paling murah dari sebelas bulan yang lainnya? Namun anehnya, pemerintah dan perusahaan swasta pun bahkan harus menganggarkan gaji ke-tiga belas hanya untuk biaya hura-hura di momen Ramadhan ini.
Kemudian, jika Ramadhan ini kita pahami juga sebagai media pendidikan dan latihan singkat yang digelar Tuhan teruntuk hamba-hambaNya, sebagai tempat untuk mengevaluasi perjalanan hidup di sebelas bulan silam, juga sebagai bimtek dan pembekalan menuju kehidupan di sebelas bulan mendatang, maka sikap kita pada hari raya lebaran adalah indikasi yang menunjukkan gagal-suksesnya pendidikan tersebut.
Bila lebaran kita sambut dengan kemewahan berlebih, ego yang membabi buta, serta hal-hal yang menyelingkuhi makna puasa lainnya, maka ternyata bulan Ramadhan tersebut telah gagal membentuk karakter kita untuk menjadi pribadi yang lebih sederhana. Bila selepas Ramadhan itu kita tidak lebih pandai menguasai diri, tidak lebih jago menahan nafsu, tidak lebih cermat mengendalikan hasrat, maka jangan salahkan siapa-siapa bila yang kita terima kelak adalah rapot bernilai merah.
Wallaahu a’lam bish-shawaab.

Hilmi Sirojul Fuadi
Seekor abege yang selalu gagal berpuasa dari gejolak rindu yang menggebu, dari gelora cinta yang membabi buta.