Catatan Lepas Seorang Banser Sepuh

941

Oleh H. Usep Romli Abdul Hamid

(Aktivis Ansor-Banser era 60-an,Wartawan Senior HU Pikiran Rakyat, Pengasuh Pesantren Raksa Sarakan, Cibiuk, Malangbong Garut)

 

Alhamdulillah, tahun 2017 ini, 24 April, Gerakan Pemuda Ansor genap berusia 83 tahun. Sejak didirikan tahun 1934, organisasi kepemudaan ini, telah melahirkan berbagai kiprah penuh dinamika, sesuai perkembangan zaman. Mulai pada masa “kejayaan” di masa revolusi pisik, tatkala banyak anggota GP Ansor terjun ke tengah gelanggang mempertahankan kemerdekaan, baik angkat senjata bersama Hizbullah dan Sabilillah , maupun di bidang non-militer, hingga pada masa perlawanan terhadap Partai Komunis Indonesia (1960-1965). Berlanjut masuk ke masa “kemuraman” selama rezim Orde Baru, ketika semua organisasi kepemudaan harus bertekuk-lutut di bawah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dominasi  KNPI sangat luar biasa. GP Ansor dan organisasi kepemudaan lain, seolah kehilangan eksistensi aslinya. Memang GP Ansor selalu mendapat jatah sebagai pengurus di pusat dan daerah. Tapi jarang menduduki jabatan Ketua Umum yang selalu dipegang organisasi kepemudaan berafilasi dengan Golongan Karya (Golkar).

Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Ansor lebih cenderung “kegolkar-golkaran”, darpada “keNU-NUan” yang diidentikan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Banyak tokoh Ansor yang kemudian betah bernaung di bawah Beringin, dari pada menggelayut di tali “bola dunia”.

Kakek saya, Ajengan Hamami Allohuyarham, telah menjadi “NU” sebelum lahir organisasi NU 31 Januari 1926 . Beliau telah menjadi “NU Kultural”. Mengamalkan “tarekat” Nahdliyah berdasarkan  petunjuk guru-gurunya di beberapa pesantren Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dlsb. Mulai dari tahlil, marhaba, ziarah kubur, hingga bacaan kitab-kitab khas pesantren seperti Taqrib, Fathul Qarib, Muhadzdzab, Tuhfatul Muhtaj, Nihayatul Mujhtaz, dlsb hasil karya para ulama mazhab Syafi’i.

Maka ketika organisasi NU lahir, berasaskan Islam dan bertujuan menegakkan syariat Islam berdasarkan salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), tanpa kesulitan kakek saya menjadi “NU Struktural”. Diikuti anak-anaknya, saudaranya , dan saya salah seorang cucunya.

Alhamdulillah, pada tahun 1963, ketika duduk di bangku Sekolah Guru A (SGA, kemudian berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru – SPG) di Garut, saya mulai ikut masuk organisasi otonom NU. Mula-mula di IPNU, kemudian GP Ansor setelah melalui berbagai tahapan pelatihan (basic training dan training centre).

Waktu itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai menguasai panggung perpolitikan dan pemerintahan RI. Dengan senjata ideologi “Manipol” (Manifesto Politik) dan “Nasakom” (Nasional, Agama, Komunis), PKI benar-benar “ngajago”. Berlindung di balik nama besar Bung Karno (Presiden RI Ir.Sukarno), PKI memprovokasi masyarakat agar “Manipolis” dan “Nasakomis”. Yang menolak, dituduh kontra-revolusi, subversif, antek nekolim (neo kolonialisme-imperialisme).

Di daerah-daerah, Ansor menjadi tameng penyebaran faham komunis itu, dan siap siaga melawan PKI beserta ormas-ormasnya. Terutama Pemuda Rakyat dan BTI (Barisan  Tani Indonesia) yang sudah merekrut anggota hingga ke pelosok-pelosok kampung terpencil.

Sikap Ansor semula defensif. Terutama dalam menghadapi penyebaran faham yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jamaah. Para tokoh NU bersama para Ajengan di pesantren, melarang Ansor menggunakan kekerasan. Melabrak atau membubarkan pengajian kelompok Anti Aswaja. Tapi menyuruh Ansor melawan melalui debat dan pendekatan musyawarah. Dengan demikian, para anggota Ansor yang kebanyakan santri  dan pelajar, mendapat kursus kilat rutin mengenai perbandingan mazhab dan sejarah-sejarah agama. Salah seorang pemberi materinya adalah KH Anwar Musaddad, anggota PBNU yang tinggal di Garut dan Yogyakarta .

“Mengapa harus susah-susah berdebat? Sekali geruduk juga pengajian anti Aswaja akan bubar !”tanya seorang Ansor kepada Mama Ajengan gurunya di pesantren.

“Jika itu dilakukan, merupakan kerugian bagi Ansor dan NU keseluruhan. Popularitas mereka akan terdongkrak. Akan menjadi dikenal masyarakat luas. Apalagi jika diberitakan di suratkabar. Mereka bisa “nebeng” pada nama besar Ansor dan NU. Debat dan musyawarah saja, sekalian kalian berlatih dan menambah ilmu,”jawab Mama Ajengan yang sangat dimengerti para santri Ansor itu.

“Mengapa Ansor yang melawan mereka? Bukan para tokoh dan Ajengan NU?”tanya santri Ansor lainnya.

“Itu juga sengaja, agar mereka tidak jumawa. Faham anti Aswaja mereka cukup dihadapi Ansor saja. Terlalu kecil buat para ulama NU.Nanti mereka numpang beken juga.”

Akhirnya Ansor ikhlas menjadi benteng Aswaja berdasarkan ilmu pengetahuan. Dan ikhlas menjadi penentang PKI berdasarkan kekuatan pisik. Pada masa itu, otak dan otot GP Ansor benar-benar difungsikan sekali.

Hampir sebulan sekali, saya dan kawan-kawan Ansor Garut mendapat wejangan dari KH Anwar Musaddad, yang rumahnya di Jl,Ciledug, menjadi tempat “kursus politik”.

“Ingat, Ansor itu organisasi pemuda terkuat dan terbesar, pengokoh Nahdlatul Ulama. Jangan menjadi kacung penyebar ideologi lain di luar Islam dan Aswaja. Biarlah soal  Manipol, Nasakom, dlsb., urusan mereka di luar NU dan Ansor. Ansor lebih mulia dari Pemuda Rakyat dan PKI. Jadi jangan ikut-ikutan menjadi tukang mempromosikan ideologi mereka, “pesan Pak KH Anwar Musaddad berulang-ulang.

Pada berbagai kesempatan “kursus politik” itu pula, Pak Musaddad selalu membahas pendapat Imam Abu Hasan al Mawardi, ilmuwan politik Islam abad pertengahan, penulis buku “Adabud Dunya wad Dien”, “Al Ahkamush Shultoniyah”, dll. Salah satu pendapat Al Mawardi yang menjadi pavoritnya adalah tentang kekuatan bangsa, negara dan pemerintahan.

“Bangsa dan negara yang menjadikan agama (Islam) sebagai anutan (Ad Dienul Muttaba), akan menjadikan pemerintahan kuat (Ash Shultanun Qohirun). Sehingga keadilan merata sempurna (Al Adlus samil), keamanan terasa oleh seluruh masyarakat (Al Amnul “Am), sandang pangan banyak dan murah (Al Kisbud dar), dan masa depan jelas serta cerah (Amalul Fasihun). Kalau dasar anutan  lepas, berantakan semua,”petuah Pak Musaddad ini menjadi acuan para Ansor yang bertekad menjunjung tinggi panji-panji “Al Islamu ya’lu wa la yu’la alaih” (Islam itu unggul tak terungguli oleh apapun dan siapapun . Menjadi tugas utama Ansor untuk berjuang dan berkaryaa demi Izzul Islam wal Muslimin (Ketinggian derajat Islam dan umat Islam).

Bagaimanapun juga, nama Ansor diambil dari ayat Quran, S.Ash Shaf : 14 “jadilah kalian penolong –penolong agama Alloh”. Sehingga amat mustahil dan pasti mengkhianati para “founding father” GP Anshor jika suatu saat, GP Ansor menjadi penjaja ideologi lain di luar Islam dan Aswaja, menggunakan kekerasan terhadap sesama (ormas) Islam dan berpihak kepada sesuatu dengan alasan toleransi, kebhinekaan, keberagaman, dlsb. yang sesungguhnya telah amat diakomodir oleh Islam dan umat Islam melalui S.al Hujurot : 13.***