Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila adalah Nadi Keindonesiaan

1002

Oleh : Hadi ibnu sabilillah (Mahasiswa STAI-NU, PC IPNU dan Penggiat komunitas pena dan lensa purwakarta)

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia, Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia.

Kata tunggal berarti “satu”, Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan, Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Dasar pemerintahan negara Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, arti dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan Demokrasi Pancasila artinya demokrasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat,  Negara Indonesia berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila merupakan falsafah Indonesia dan mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda suku bangsa, agama, bahasa dan adat istiadat namun tetap satu jua, Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk.

Pancasila telah membimbing lahir batin perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam pancasila tercantum kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kekuatan, dan kesaktiannya, sehingga tidak ada satu kekuatan manapun yang mampu memisahkan pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia, Sehingga Pancasila sejatinya adalah jatidiri bangsa Indonesia.

Namun sangat di khawatirkan ketika ada sebuah pemikiran yang tidak setuju terhadap pancasila ini, dengan mengatas namakan agama yang jelas-jelas di katakan mustahil jika ingin mengubah pradigma indonesia yang berpancasila ini menjadi negara khilafah, mungkin ini adalah wujud terpuruknya minat generasi bangsa indonesia untuk membaca dan mengenali  sejarah para pahlawan, kekayaan seni budaya antara daerah dan keberaeka ragaman bahasa daerah yang ada di indonesi.

jika tanpa spiritualitas, masyarakat akan sulit menerima dan memahami perbedaan yang ditemuinya. Perbedaan etnis, religi maupun ideologi menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika dan toleransi yang menjadi perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa, kian muncul Perasaan prihatin atas terkikisnya terhadap kebhinekaan dan kedamaian bangsa, yang muncul dalam bentuk disintegrasi dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan apapun,

Disadari bahwa kebangkrutan kebangsaan seperti ini akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka buruk sesama saudara, sehingga banyak oknum yang memanfaatkan situasi seperti ini dan mengadu dombakan masyarakat indonesia agar terpecah 
belah.

Beranjak dari kekhawatiran itulah seharusnya mahasiswa yang dikatakan orang cendikia atau orang yang memiliki kecakapan berpikir, agar bisa melek akan menyikapi hal seperti ini, karena mahasiswa memilikka peran yang istimewa. Yang di kelompokan dalam tiga fungsi : agent of change (agen perubahan), social control (kontrol sosial) dan Iron stock.

(asset cadangan kepemimpinan), dengan fungsi tersebut tugas besar di emban mahasiswa yang di harapkan dapat mewujudkan perubahan bangsa yang sudah sangat semrawut ini. Indonesia ini negara yang ber’agama bukan negara agama, kemerdekaan ini berkat para ulama yang tidak semenah-menah memerdekakan tanpa niatan mensejahtrakan masyarakat, menegakkan perdamaian dan keadilan, harus merasa bodoh ketakita hari ini indonesia kita ini, di biarkan digerogoti oleh sedikit oknum organisasi kecil yang ingin merubah pradigma kenegaraannya, kenusantaraan ini harus tetap dijaga hingga tetes darah penghabisan,

karena ulama KH Hasyim asy’ari menegaskan, Hubbul wathan minaliman ‘mencintai tanah air sebagian dari pada iman’, mari untuk mengingat lagi sejarah parapahlawan yang gugur mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan ini, karena tanpa mengenal sejarah kita tidak akan mengenal apa ‘indonesia’. Itu, seperti apa yang presiden Ir. Soekarno katakan, “jas merah” jangan lupakan sejarah, dan “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”, Wallahu’alam.