Bertahan Dalam Peperangan Media

314

Oleh : Setiawan Maulani Al-Farisi *)

Tidak dapat dipungkiri, perkembangan zaman semakin hari semakin mobile. Seolah sudah tidak ada keterpisahan jarak dan waktu walau bukan secara real. Digitalisasi semakin menjamur seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin hari semakin terdesak pada sesuatu yang ingin direngkuhnya dengan mudah.

Lantas kita sebagai kaum muslim terutama kaum nahdliyin bukan lantas untuk menjauhi atau anti terhadap itu semua. Sesuai Motto NU  “almuhaafadzotu ‘alal qodiimi asshoolih wal akhdzu bil jadiidi al ashlah” (menjaga nilai lama yang baik dan menggali nilai baru yang lebih baik). Dalam hal ini, sudah sangat jelas bahwa sebagai kaum muslim dan terutama nahdliyin kita juga senantiasa kudu menerima sesuatu yang baru. Atau bahkan berinovasi dan berkreasi terhadap menciptakan sesuatu yang baru yang memang dapat bermanfaat terhadap sesama dalam kehidupan.

Sebagai contoh, sudah sepantasnya di era digital ini, dengan gencarnya perkembangan tekhnologi dan termasuk media social yang menjadi demam bagi masyarakat luas, seorang muslim kudu dan wajib untuk tidak gaptek. Apalagi dengan isu-isu yang bertebaran luas dan bebas lewat media social yang semakin hari semakin digemari oleh semua kalangan. Dari rakyat sampai pejabat, dari pinggiran sampai abangan, bahkan dari santri sampai kyai pun tak luput dari yang namanya media social.

Namun dewasa ini, dibalik tujuan diciptakannya media social yang salah satunya untuk membuat komuniksai antara yang disini dan disana yang terbatas oleh ruang dan waktu justru malah menjadikan media social ini sebagai alat untuk menghegemoni dan membangun image. Sebut saja berkembangnya berita hoax, penyebaran separatis, dan masih banyak hal lainnya yang malah semakin hari media sosial ini menjadi medan peperangan pikiran dan mindset.

Ini tidak terlepas dari orang-orang yang mulai menyadari bahwa penyampain faham-faham mereka melalui tabligh, dakwah, pidato, dan lain halnya sudah terasa kurang memberikan dampak yang signifikan. Lebih mudah dan murah lewat media social untuk menerapkan pemikiran dan faham-faham yang diyakini agar lebih mudah diserap oleh khalayak ramai. Bukan hanya murah, pemberitaan lewat media sosial justru lebih efisien menjaring orang-orang dalam radius yang lebih luas. Ini tidak terlepas dari sedang gandrung nya masyarakat sekrang terhadap media social.

Yang menjadi kekhawatiran adalah mulainya masyarakat diluar sana, yang walaupun punya latar belakang pendidikan dan strata social yang berbeda, justru malah mudah untuk meng-iya-kan apa-apa yang mereka baca. Tanpa ada hipotesa tanpa ada analisa. Dan lebih parahnya sekaliber orang-orang yang berpengaruh di masyarakat pun lunak dan menjadi hamba dari media social ini. Ada apa gerangan?

Bukankah Islam dan tradisi kita menuntut agar adanya tabayun (penjelasan)? Bukankah Allah dan Rasul-Nya pun memerintahkan untuk senantiasa mencari dan meminta penjelasan terhadap khabar yang masih belum jelas benar-salah nya? Disinilah kita harus mulai belajar bagaimana bertahan dalam peperangan media yang semakin kacau ini. Bersyukurlah mereka kaum muslimin yang punya keteguhan prinsip dalam menanggapi berita yang simpang siur lewat media social ini. Selain mereka tidak mudah terjaring isu-isu yang menjadikan mereka ber-blok-blok juga meyakini bahwasannya umat Islam yang senantiasa teguh pada ajaran Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad para ulama punya pandangan dan hati yang lebih besar dalam menanggapinya.

Bertahan dalam peperangan media memang bukanlah jihad. Tapi disinilah awal mula menjadi jembatan untuk memilah dan memilih mana yang harus diyakini keberannya dan mana yang harus dibuang jauh-jauh. Lantas apakah cukup dengan hanya bertahan? Bagaimana dengan kaum muslim yang dengan entengnya menerima berita ini dan itu tanpa tahu apakah hal itu benar adanya. Disinilah NU memberikan contoh dalam motto nya yang berbunyi wal akhdzu bil jadiidil ashlah yang berarti dan menggali nilai baru yang lebih baik.

Dalam artian, tidak terlena dalam perkembangan zaman. Justru harus ikut andil dalam perkembangan tersebut. Bias lewat kreasi pemikiran bias pula lewat berinovasi lewat tulisan. Sebagai muslim yang meyakini sunnah nya Rasulullah SAW, khoirukum ‘anfa’ahum linnaas, bahwa sebaik-baiknya kalian adalah yang bermanfaat dan memberikan manfaat kepada manusia. Untuk kemudian memanfaatkan media social yang hari ini menjadi ajang untuk peperangan agar aktif dan senantiasa menyampaikan kebenaran.

Tidaklah susah untuk bertahan dalam peperangan media ini, cukup untuk membuka hati dan pikiran selebar mungkin dan berani untuk memikirkan apakah berita yang kita terima benar adanya atau hanya untuk mengumpulkan simpatisan golongan atau kaum tertentu. Kemudian berani pulalah untuk bertabayyun agar semua yang kita dengar dan kit abaca menjadi sebuah amalaiah yang berkah. Dan jua, sebagai kaum muslimin dan kaum nahdliyin harus berani berkreasi dan berinovasi dalam menyampaikan sesuatu kebenaran kepada saudara-saudara kita dengan memanfaatkan media social. Berani untuk berperang dan bertahan dalam peperangan media untuk kemashlahatan bersama.  Wallahu a’lam Bishawab

*Penulis Merupakan demisioner PMII Cabang Kabupaten Bandung