Bermi’raj Yuk…

73

Barangkali tidak ada episode kehidupan Nabi Muhammad SAW. yg paling menarik bagi kaum orientalis dan sejarahwan agama melebihi episode perjalanan isra dan mi’rajnya Nabi ke langit ke tujuh. Demikian sepenggal tulis Anniemarie Schimmel.

Analisis tentang sejarah ini melibatkan beragam perspektif. Diantaranya sosial-kemanusiaan, filosofis, teologis hingga saintis.

Paling tidak ada pemaknaan lain yang dapat kita temukan dari peristiwa Isra-Mi`raj Nabi Muhammad SAW. di luar deskripsi materialistik yg dibahas para saintik dari kisah perjalanan Nabi dari masjid al-Harom ke mashid al-Aqsho hingga naik ke sidratul muntaha di langit ke tujuh.

Isra adalah perjalanan spiritual horizontal dalam format ibadah sosial, sedangkan mi`raj adalah perjalanan spiritual vertikal dalam format ibadah ritual.

Salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesamanya, bersandar pada al-Akhlaq al-Karimah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Salah satu “piwulang”nya Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga adalah “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).

Dalam kajian tasawwuf mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. dari langit ke langit hingga sidratul muntaha bukan sekedar momen sejarah yg hampa makna, melainkan terkandung pesan2 metaforik yg sarat nilai spiritual. Ibnu Arobi menulis soal ini dalam kitabnya, al-Isra ila al-Maqam al-Asra.

Menurutnya tujuh langit yang didaki Nabi merupakan mengisyarat pendakian2 spiritual yang harus dilalui seorang hamba untuk kemudian “tersingkapnya” alam malakut atau alam ketuhanan dan berma’rifatillah. Inilah yg menjadi tujuan akhir pencarian kejernihan jiwa para sufi.

Simbolisme tujuh langit kemudian merujuk pada pemahaman bahwa untuk dapat bermusyahadah dengan Alloh, para sufi harus melampahi tujuh terminal suluk maqomat, yaki taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridho. Demikian kiranya para sufi melalui suluk ini untuk mendekati maqom al-Insan al-Kamil

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda2 (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra: 1).

Murtadlo Imam, S. Psi
(PC GP ANSOR CIREBON)