Benar sebagai Apa, Bukan Siapa

544

Benar sebagai Apa, Bukan Siapa

Oleh: Ahil Siradj

Dalam banyak kesempatan, mBah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) selalu mengemukakan pandangan filosofisnya mengenai benar-salah. Sangat sering beliau tegaskan bahwa status benar-salah hanya berhubungan dengan pekerjaan/perbuatan; bukan dengan benda, orang atau person. Dalam rangkaian praktik zina, misalnya, yang terkena status salah adalah praktik zinanya; bukan orangnya. Adapun orang tersebut dinyatakan bersalah, maka status tersebut bersifat ‘aridhiy (temporer, baru); yakni dikarenakan ia melakukan suatu perbuatan salah yaitu zina. Tidak ada orang yang dengan sendirinya berstatus salah; yang ada adalah orang yang sedang atau telah melakukan kesalahan.
Sementara demikian, orang yang berbuat zina tak selamanya berbuat zina. Orang yang tidak/belum berzina pun tidak dijamin tidak akan melakukan zina. Artinya, ketika ada seseorang yang sedang melakukan kesalahan, tidak serta merta orang tersebut harus salah selamanya. Begitu pun orang yang sedang melakukan hal benar, tidak ada jaminan orang tersebut tak akan menjumpai kesalahan seumur hidupnya. Konsep benar-salah, sekali lagi, hubungannya terjalin dengan perbuatan; bukan dengan perseorangan. Jika saya atau Anda dikatakan salah atau benar, maka sesungguhnya bukan saya atau Anda yang salah atau benar; melainkan perbuatan yang Anda atau saya lakukanlah yang salah atau benar.
Maka dalam perjalanan mencari kebenaran, lanjut mBah Nun, pertanyaan yang harus diajukan pertama kali adalah “apakah yang benar”; dan bukan pertanyaan “siapakah yang benar”. Hal ini tentu saja sangat penting dan bahkan fundamental. Sebab, kerangka pertanyaan itulah yang akan mengawal dan menentukan rangkaian perjalanan kita selanjutnya.
Dalam teologi Islam, manusia yang dipastikan benar dan tak mungkin salah hanyalah para nabi. Dan sebagai umat terakhir, nabi yang terdekat secara historis dan berlaku bagi kita sebagai standar dan contoh kebenaran adalah Baginda Muhammad Saw. Oleh sebab itu, dapatlah kita yakini bahwa seluruh manusia selain Baginda Muhammad (dan para nabi yang lain) tidaklah mendapat jaminan benar/salah. Semuanya berpotensi untuk melakukan kesalahan; sekaligus juga berpotensi melakukan kebenaran.
Dalam kondisi yang seperti ini, maka jelaslah urgensi memperkuat pemahaman kita terhadap “apa” yang benar, dan bukan “siapa” yang benar. Tidak ada konsep taklid buta, tidak ada pengultusan terhadap figur tertentu. Seorang professor, presiden, kiai, habib, dan siapa pun, tidak ada satu pun dari mereka yang memegang otoritas kebenaran mutlak. Semuanya saling mengisi, mengoreksi, bersama-sama mencari kebenaran dan berusaha untuk konsisten menjalankannya.
Jika saja hal di atas telah dapat dipahami dan dihayati sepenuh hati, maka sebenarnya tak akan ada lagi fanatisme sektarian; tidak ada lagi anti-kritik. Toh, dalam pencarian kebenaran, yang pertama-tama harus kita pastikan adalah kesiapan diri kita menerima kenyataan bahwa kita telah dan bisa saja melakukan kesalahan. Sebab bila tidak seperti itu, mungkinkah Thomas Edison menemukan lampu?
Apalagi bila setidaknya kita meluangkan waktu untuk membaca berbagai turats, buku-buku klasik yang muncul pada era kejayaan Islam, akan jelas sekali di mata kita bahwa perbedaan pandangan mengenai “apa” itu benar juga menjadi sesuatu yang niscaya. Para intelektual agama saling melempar kritik, para murid merevisi pendapat sang guru, dan lain sebagainya yang tak lain dan tak bukan adalah perhelatan akbar keilmuan demi mencari kebenaran; bukan mencari “siapa” benar dan “siapa” salah.
Hal tersebut menunjukkan kedewasaan dan sikap bijaksana para ulama pada saat itu. Terbuka pada kritik dan pemikiran baru, padahal ranah yang mereka geluti adalah wilayah doktrin ilahiyah–yang tentu saja bukan main bahayanya bagi segenap orang beriman. Namun demi menemukan kebenaran ilmiah, mereka semua rela menerjunkan diri kepada samudera yang tak berdasar itu. Derasnya gelombang hambatan juga tak menyurutkan tekad mereka.
Dan yang tak kalah penting, umat yang tak begitu merecoki urusan mereka. Umat atau masyarakat yang bersedia menghormati pendapat selain pendapat gurunya; masyarakat yang tak mudah dikompori oleh segenap oknum; masyarakat yang belum mengenal jejaring media sosial beserta hoaksnya. Hal belakangan menjadi pembeda jelas di antara umat yang terdapat pada masa silam dengan umat beragama kekinian.
Ulama terdahulu tidak anti perbedaan; begitu pula dengan umatnya. Sedangkan bisa kita saksikan hari ini, perbedaan yang terjadi seringkali memunculkan perkelahian. Dengan berdalih kebebasan demokrasi, apa saja kita keluarkan dari mulut tanpa ada filternya. Semua orang berbicara politik, berbicara agama, berbicara apa saja yang kita kehendaki tanpa ada kesadaran diri, batas, dan sikap hati-hati. Termasuk ketika kita merasa ingin membela ulama, seringkali kita lakukan dengan menyerang ulama yang lain. Inilah benih perkelahian.
Peristiwa hangat yang baru ini terjadi, Katib Am PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf menulis status di akun facebooknya. Status yang ditulisnya dengan bahasa Jawa (Kromo Inggil?) itu pun sontak mendapat perhatian sejagat dunia maya. Pasalnya, Gus Yahya dianggap melempar kritik tajam terhadap Habib Umar bin Hafidz (Yaman) yang sedang melakukan safari dakwah di Indonesia.
Seperti yang telah ditebak sebelumnya, berbagai respon pun berdatangan; ada yang mengamini juga ada yang mengecam. Ada yang tidak setuju terhadap statusnya, tapi santai saja; ada pula yang tidak mengerti terhadap statusnya, tapi marah-marah; ada juga yang menjadi kompor, bekerja sebagai pemanas suasana. Baik muhibbin Habib Umar maupun Nahdliyyin kadernya Gus Yahya, alangkah baiknya untuk tidak bersikap fanatik dan mengakibatkan perpecahan.
Kita meyakini Habib Umar sebagai walinya Allah, yang senantiasa menebarkan pesan perdamaian dan persatuan. Kita juga mengenal Gus Yahya, presiden Terong Gosong, sebagai sosok yang selalu mengampanyekan persaudaraan seluruh manusia serta revolusi tertawa. Maka alangkah lucunya bila kita selaku orang yang menghormati keduanya, harus rela bertengkar sebab sesuatu yang kecil itu.
Dan sependek yang saya tahu, baik Gus Yahya maupun Habib Umar sama sekali tak pernah merestui kebencian. Jika kedua kelompok ini harus berhadapan dan kemudian mengobarkan bendera kebencian, bagi saya sendiri sungguh aneh, karena tentunya kebencian bagi keduanya merupakan suatu bid’ah yang tak pernah dicontohkan. Terakhir, bila hamba yang imut ini diizinkan, hamba ingin mengutip pepatah tua berasal dari Arab; “al-haqqu laa yu’rafu bil-rijaal, wa innamaa yu’rafu al-rijaalu bil-haq.”
Kepada Kanjeng Nabi, anbiya, sahabat, ahlil bayt, auliya, ulama dan habaib seluruhnya, alfaatihah…
Wallaahu a’lamu bish-shawaab.