Begini Cara Melawan Hoaks

55

Begini Cara Melawan Hoaks

Untuk menjadi Islami, kita tidak perlu bersusah payah, berbuat segala sesuatu dengan tidak alami, alias dibuat-dibuat, hanya ikut-ikutan kebanyak orang. Misalnya dalam era media sosial seperti sekarang ini, orang terpelajar sekalipun–saya lihat–yang kelihatan tidak bisa membedakan mana konten hoaks dan mana konten yang valid. Jangan terpengaruh dengan segala simbol dan istilah Islamnya saja, baca konten tersebut, analisis sendiri dan bedah konten yang kita baca dengan perspektif keislaman kita.

Tebongkarnya jaringan hoaks Muslim Cyber Army (MCA) adalah bukti konkrit bahwa masyarakat kita banyak tertipu oleh istilah di permukaan. Banyak di antara kita yang terjebak istilah ‘Muslim’ dalam nomenklatur ‘Muslim Cyber Army’ yang seolah-olah apapun yang keluar dari jaringan hoaks ini diakui sebagai konten yang pasti benar sehingga ada banyak orang yang tanpa ragu dan bahkan tanpa dibaca terlebih dahulu, lalu ikut-ikut men-share hanya agar dapat dilihat sebagai orang yang Islami.

Saya sendiri punya sumber keislaman online sebagai benteng agar terhindar dari hoaks. Sumber keislaman online utama saya adalah website yang resmi dikelola oleh tim media Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yakni NU Online–www.nu.or.id. Sehingga saya dengan mudah bisa mendeteksi mana-mana website dan media online apapun yang menyebarkan hoaks. Saya dan saya kira kita semua jangan sampai terpengaruh oleh nama website yang kelihatannya Islami alias mencatut nama Islam, padahal seluruh kontennya hoaks.

Saya akan beri tahu konten-konten media online yang punya kecenderungan hoaks adalah portal-portal yang mencatut nama Islam, lalu muatan kontennya berbau isu SARA, menyebar isu kebangkitan PKI, menghujat pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo, menghina para ulama Nahdlatul Ulama (seperti yang dialami oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj), mengkafir-kafirkan umat agama lain, dan lain sebagainya.

Mengapa banyak di antara kita, bahkan kelompok terpelajar sekalipun yang terjebak hoaks? Karena rendahnya kesadaran literasi. Banyak di antara kita yang malas membaca, apalagi menulis dan kajian ilmiah. Selain itu, banyak di antara kita yang fondasi keislamannya tidak jelas, abu-abu dan sekadar ikut-ikutan kebanyakan orang. Tidak seperti fondasi keilmuan para santri yang belajar di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama.

Masa seorang Profesor menyebar hoaks? Masa Insinyur, dosen, guru, pegawai dinas, dll menyebar hoaks? Dan orang-orang terpelajar lainnya terperangkap menyebar hoaks secara emosional. Mengerikan sekali. Saya mencoba menganalisis apa motif mereka sampai kemudian dengan mudahnya menyebar konten-konten hoaks. Bisa jadi karena jenuhnya rutinitas pekerjaan, boleh jadi karena minimnya wawasan keagamaan yang moderat, perilaku koruptif para pejabat, konflik rumah tangga, stres dan lain sebagainya.

Untuk itulah kita harus membentengi diri agar kita tidak terperangkap hoaks. Sebab kalau kita tidak paham dengan isi konten tersebut dan kita tidak punya fondasi keislaman moderat yang kuat, dapat dipastikan kita akan terjerembab hoaks. Termasuk ketika banyak di antara kita men-share video demi video pendek yang berisi ceramah-ceramah para dai atau mubaligh yang viral tetapi sebetulnya muatan ceramahnya sangat dangkal, berisi fitnah dan hoaks.

Itulah realitas kita di era media sosial ini. Di antara kita masih banyak yang tidak bisa membedakan mana ulama yang moderat dan mana ulama yang radikal. Mana ulama yang hanya pandai bicara dan mana ulama yang tranck record keilmuannya jelas. Saya memilih ulama sejati bukan ulama gadungan dan hoaks. Pilihlah ulama dengan kita mengetahui apa latar belakang ulama tersebut: latar belakang keilmuan (belajar di pesantren mana, studi di kampus mana, sanad keilmuan), apakah ulama tersebut moderat atau radikal. Jangan pilih ulama yang kerap mengkafirkan umat agama lain, jangan pilih ulama yang melakukan kekerasan dan pernah terlibat perilaku kriminal.

Wallaahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa)
GP Ansor Kabupaten Cirebon

Pesantren Masyaariqul Anwar, 4 Maret 2018, 14.28 WIB