Banser Jabar Ungkit Kejelasan Status Hukum Penganiaya Mama Santiong

748

Banser Jabar Ungkit Kejelasan Status Hukum Penganiaya Mama Santiong

BANDUNG,- Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Jawa Barat mengungkit kejelasan status hukum penganiaya Mama Santiong yang hingga saat ini belum ada kejelasan.

Demi kepastian hukum dan menyangkut martabat penegakan hukum di wilayah Jawa Barat, Banser meminta Polda Jawa Barat menyampaikan proses penanganan kasus penganiayaan ini secara tuntas.

“Kami Banser Jabar meminta perkembangan informasi penanganan kasus ini. Jangan sampai publik kembali bertanya-tanya, ada apa dengan penganiayaan yang menimpa pemuka agama selama ini,” kata Komandan Satuan Koordinasi Wilayah Banser Jawa Barat, Yudi Nurcahyadi, Selasa, 13 Februari 2018.

Menurut Yudi, publik termasuk Banser Jabar dan Keluarga Besar Nahdlyin hanya mengetahui kabar terakhir pelaku penganiaya Mama Santiong dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Dan belum pernah mendapat laporan langsung dari Rumah Sakit atau Doter Kejiwaan mana yang menyatakan gila.

“Terakhir kami membaca sejumlah media bahwa Kapolda Irjen Polisi Agung Budi Maryoto di Cirebon pada Minggu, 28 Januari 2018 mengeluarkan pernyataan bahwa jajaran Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bandung melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku berinisial A yang melakukan penganiayaan terhadap Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hiadayah Santiong, KH Emon Umar Basyri (60) yang akrab disapa Ceng Emon. Pemeriksaan dilakukan lantaran pelaku diduga mengalami gangguan jiwa. Itu saja yang kami tahu,” ujar Yudi.

Akan tetapi, tuturnya, kepastian apakah betul mengalami gangguan jiwa tidak kami peroleh padahal kasus ini sudah berlangsung hampir setengah bulan.

*KUHP
Memang, kata Yudi, dalam Ilmu Hukum Pidana dikenal alasan penghapus pidana dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf. Kategori gila masuk alasan pemaaf sehingga menghapus kesalahan dari pelaku tindak pidana seperti yang termaktub dalam Pasal 44 KUHP bahwa tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.

Akan tetapi, ucap Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Garut ini (STHG) ini, tidak berarti dihentikan proses penyidikannya karena yang memutuskan pelaku pidana yang diduga gila agar dimasukan ke Rumah Sakit Jiwa adalah Majelis Hakim.

“Lihat KUHP Pasal 44 ayat 2 nya bahwa jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa. Jadi kepastian hukum penganiaya Mama Santiong itu bagaimana karena hakim juga belum memutuskan apapun,” ujar Yudi.

Yudi pun mengutip pernyataan Ahli Hukum Pidana R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disana disebutkan Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa.

Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul gila, tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana.

Namun, kata Yudi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila juga maupun masyarakat, Polda Jabar segera membuka lagi ke publik karena banyak orang diduga gila jadi sasaran masyarakat.

“Kami minta sesegera mungkin Polda Jawa Barat memberi kejelasan perkembangan kasus yang menimpa Mama Santiong karena banyak kasus rekayasa gila yang terjadi dalam proses penegakan hukum di Indonesia ini. Atau masyarakat akan terus memburu orang diduga gila karena khawatir dianiaya seperti yang menimpa Mama Santiong dan tokoh agama lain,” ucapnya. (Syamsudin Qalyubi)