BANGSA YANG KEHILANGAN IDENTITAS

238

BANGSA YANG KEHILANGAN IDENTITAS

Sebuah Catatan dari Acara Sekolah Ideologi di Balai Citra Resmi Purwakarta

Oleh : Ramlan Maulana*

Dalam tajuk sekolah Ideologi yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Purwakarta 31 Maret 2016 di Balai Citra Purwakarta, ada sebuah ilustrasi menarik tentang sebuah bangsa yang kehilangan identitas yang disampaikan oleh Dr. Ngatawi Al-Zastrowi (Dosen Pasca STAINU Jakarta), beliau mengilustrasikan tentang keadaan bangsa tersebut dalam sebuah cerita  Kodok dan Ular.

“Syahdan seekor raja kodok bertemu seekor ular di sebuah persimpangan jalan. Kodok berjalan dengan melompat lalu melihat ular yang berjalan meliuk liuk lincah, gesit dan cepat serta sedemikian atraktif hingga sang kodok merasa iri dan terkesimak melihatnya. Dalam hatinya tersimpan sebuah kesimpulan bahwa jalan yang hebat itu adalah jalan dengan caranya ular, timbul lah angan-angan bahwa suatu saat bangsanya harus bisa berjalan layaknya ular yang trengginas. Akhirnya kodok itu pun kembali ke rakyatnya lalu menceritakan pengalamannya itu, lalu berujarlah dia kepada rakyatnya, bahwa untuk menghadapi masa yang penuh persaingan seperti saat ini, kita harus merubah cara jalan kita, dari yang tadinya melompat-lompat harus berubah meliuk liuk, lincah seperti ular, mengingat persaingan sudah sangat kompetitif, kata kodok itu. Dari pemikiran dan gagasan tersebut ramai-ramai lah kodok meniru cara jalannya ular, bahkan dibangunlah sekolahan-sekolahan, perguruan tinggi-perguruan tinggi, tempat-tempat kursus dan sebagainya, sebagai tempat mempelajari cara berjalan ular. Ramai-ramai pula kaki mereka dipotong karena supaya bisa berjalan layaknya ular. Dalam sekejap identitas kodok yang bisa melompat sirna, berganti menjadi kodok yang tidak berkaki dan tidak melompat, sampai tiba akhirnya kodok-kodok tersebut tidak bisa melompat tidak juga bisa meliuk-liuk seperti ulah melainkan kodok tersebut malah menjadi mangsa santapan ular. Cita-cita awal hendak mengejar ketertinggalan dalam persaingan malah berbuah kepunahan karena menjadi bangsa lemah yang kehilangan identitas kekodokannya, bahkan malah menjadi santapan”.

Demikian lah juga yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini. Zastrouw menjelaskan bahwa bangsa Indonesia kini sudah kehilangan identitas dan tercerabut dari akar tradisinya, bangsa yang sudah berubah menjadi bangsa yang sangat latah, identitas asli yang menjadi citra diri bangsa ini kian luntur bahkan hilang tergerus oleh imperioritas bangsa ini akan kebudayaannya. Terkesimak dengan kebudayaan Barat sebagaimana terkesimaknya kodok melihat cara berjalannya ular dalam cerita di atas. Sehingga seringkali kita menganggap bahwa yang paling hebat itu adalah kebudayaan Barat serta muncul anggapan bahwa bangsa kita imperior dan Barat superior. Lalu akhirnya ramai-ramailah kita meniru kebudayaan mereka, dibangunlah sekolahan-sekolahan, perguruan tinggi-perguruan tinggi, tempat-tempat kursus dan sebagainya hanya untuk belajar bagaimana meniru cara orang Barat dalam berkebudayaan. Sementara kebudayaan kita sendiri diamputasi bahkan ditinggalkan seolah hanya sampah peradaban. Dikeluarkan lah dana yang begitu besar untuk mengadopsi identitas mereka dan menghilangkan identitas asli bangsa ini, yang pada akhirnya bukan malah menjadi unggul dalam menghadapi persaingan global malah justru bangsa ini semakin terpuruk menjadi bangsa lemah, bangsa jajahan ideology mereka, maka lahirlah apa yang disebut dengan penjajahan gaya baru yaitu penjajahan ideologi dan

kebudayaan.

Identitas asli bangsa Indonesia adalah bangsa berbudaya dan bertuhan atau beragama. Budaya dan Agama dengan demikian menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari identitas bangsa ini. Sesungguhnya agama itu diturunkan melalui laku hidup yang berupa ahlak dan budi pekerti, disinilah alasan kenapa Rosulullah, SAW dalam tugas kerasulannya itu adalah untuk menyempurnakan ahlak juga sekaligus sebagai Rahmatan Lil ‘Aalaamin, penyebar kasih sayang bagi seluruh alam. Karena Ahlak dan budi pekerti sejatinya merupakan kebudayaan.

Masih menurut Zastrow, terdapat hubungan erat antara kebudayaan dan Agama sebagai identitas bangsa ini, dijelaskan bahwa hubungan dari keduanya bagaikan Pohon dan Tanah, agama adalah pohon sementara kebudayaan adalah tanah, pohon tumbuh di atas tanah sebagaimana Agama tumbuh di tengah masyarakat yang berbudaya. Pohon akan tumbuh subur ketika tanahnya juga subur, demikian juga Agama akan tumbuh subur ketika kebudayaannya subur. Agar tanah subur maka penting akan adanya pupuk dan air. Hal yang sama juga dengan Kebudayaan. Ajaran-ajaran, pertuah-petuah dan ilmu-ilmu dari para ulama dan para kiyai merupakan pupuk yang bisa menyuburkan kebudayaan dalam balutan religiousitas dan spiritualitas sehingga terbangun kebudayaan yang kaya akan esensi dan nilai. Sementara air dari kebudayaan adalah budayawan dan seniman yang memiliki identitas keIndonesiaan yang berbudaya dan beragama itu tadi.

Disinilah terletak hubungan yang tidak hanya satu arah melainkan tercipta hubungan yang komplementer dan bertautan satu sama lain dalam ruh identitas bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang tidak akan lepas dari spiritualitas kebudayaan dan Agama. Identitas inilah sesungguhnya merupakan identitas yang sejak lama tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia dan sudah sejak lama pula dilakukan oleh para leluhur bangsa ini.

Kalau dalam cerita di atas tadi bangsa Indonesia saat ini terkesimak dengan globalisasi ala Barat sehingga sampai kehilangan identitas. Sejatinya pada Abad 7M sampai dengan Abad 19 M bangsa Indonesia sudah mengalami globalisasi, dimana waktu itu di Nusantara sudah ada bangsa-bangsa luar yang datang berdagang ke Nusantara. Sebut saja waktu itu sudah ada bangsa Campa, Arab, Persia, China, dan India bahkan kesininya datang Portugis, Belanda, Inggris, terakhir Jepang, walaupun yang datang belakangan sifatnya menjajah. Akan tetapi bedanya Globalisasi saat itu justru melahirkan pertukaran kebudayaan dalam arti yang positif. Kenapa demikian, karena leluhur kita waktu itu tidak kemudian menghilangkan identitas asli keNusantaraannya. Kebudayaan luar diserap yang positifnya dengan tetap mempertahankan identitas dirinya yang sudah baik, sehingga terjadilah persenyawaan yang kreatif sampai melahirkan bangsa yang kemudian di sebut “Indonesia”. Jadi adanya kebudayaan luar sebagai akibat dari globalisasi waktu itu justru melahirkan kreatifitas dalam mempertahankan tradisi dan identitas keNusantaraannya. Kalau sekarang banyak sarjana kita yang belajar ke luar (Barat dan timur) untuk mengejar ketertinggalan, maka tidak jarang pula waktu dahulu leluhur kita yang belajar ke luar, sebut saja ke Haromain, seperti syekh Hamzah Fansuri, Nurudin Arraniri, Abdurrouf Sinkel, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Mahfudz Termas, KH. Nawawi albantani dan sebagaianya, beliau-beliau ini belajar lama di Arab tapi ketika pulang ke tanah kelahirannya tetap dengan identitas keNusantaraannya tidak kemudian berubah menjadi kearab-araban, hal yang sama pula dilakukan leluhur kita yang belajar ke barat, sebut saja Ki Hajar Dewantara, Soekarno, dan lain lain, mereka belajar di negri Belanda tetapi ketika pulang ke Nusantara mereka tetap dengan identitas aslinya, tanpa kemudian berubah menjadi kebarat-baratan dan keerofa-erofaan, justru sebaliknya ilmu barat, mereka seraf dan kemudian dipakai untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan bangsa barat kala itu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara:

“Di zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri, kultur kita sendiri, kita pakai sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan member kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaan bangsa kita sendiri, kita lalu pantas berhubungan dengan bangsa-bangsa lain”

Hal di atas berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, banyak yang belajar ke luar negri baik ke timur dan Barat, justru ketika pulang berubah menjadi sangat kearab-araban atau kebarat-baratan identitas aslinya tercerabut dari akar tradisinya, berubah menjadi agen asing yang hendak menggerus bangsa ini sampai hilang identitasnya, karena sejatinya untuk

menghancurkan sebuah Negara maka hancurkan lah kebudayaannya, inilah yang terjadi saat sekarang ini. Oleh karena itu Zastrow berpesan diakhir pembicaraannya “Wahai anak-anak Nusantara yang sedang tersesat di Belantara Barat sana, Pulang lah ke Bumi Nusantara, berhentilah menjadi pengais ide dan pemulung gagasan serta sampah peradaban, pulanglah!! Nusantara ini menantimu”. Selanjutnya dalam konteks ini pula rupanya Puisi WS. Rendra menemukan maknanya, dalam puisi nya beliau berujar :

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode

Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

Kita mesti keluar ke jalan raya

Keluar ke desa-desa

Mencatat sendiri semua gejala

Dan menghayati persoalan yang nyata

(WS. Rendra-sajak sebatang lisong)

Dari gambaran di atas saya berkesimpulan, bahwa di sinilah Konsep Islam Nusantara yang diusung PBNU menemukan urgensinya, karena sejatinya Islam Nusantara bukan Faham Keagamaan atau bahkan aliran keagamaan, melainkan strategi kebudayaan dan kebangsaan dalam rangka mengembalikan identitas asli bangsa Nusantara dalam pribadi-pribadi Muslim Nusantara yang menghargai akan leluhurnya lalu mengamalkan laku Spiritual dan laku kebudayaannya dalam balutan religiousitas dan spiritualitas yang didasarkan kepada Spirit Ukhuwwah Basyariyah, Ukhuwwah Islamiyyah dan Ukhuwwah Wathoniyyah dengan mengedepankan Spirit Tawassut, Tasamuh dan Tawazzun sebagai Prinsif dalam Beraswaja Ala Nahdliyyah. Hal itu seperti tercermin dalam kaidah : Al-Muhafdhotu ‘Ala Al-Qodiimi Al-Sholih Wal Akhdzu Bil Jadidi Al-Ashlah (Memelihara tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik). Wallahu A’lam Bisshowab.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta, Wakil Sekretaris PW Ansor Jawa Barat