Bahaya Laten Komunisme

103

Bahaya Laten Komunisme

Sedikit kiranya saya beropini dari uraian yang telah disampaikan oleh Ustad Ahmad Suadi, S.Pd.I, Ketua Ansor Parung Panjang, dalam Seminar Kebangsaan dengan tema Bahaya Laten Komunisme. Yang dilaksanakan di Aula Desa Parung Panjang, minggu. (30/07)

Sudah patut kita akui Indonesia ini memiliki irisan sejarah kelam dengan komunisme. Tahun 1965, yang kita kenal Gerakan Tiga Puluh September (G30S), Partai Komunis Indonesia (PKI) menculik dan membunuh enam orang perwira tinggi Angkatan Darat, yang dinilainya sebagai penghalang utama rencana mereka untuk merebut kekuasaan negara.

Tidak hanya dilihat dari kacamata historis saja, namun ada hal yang paling fundamental dari bahayanya paham komunisme yaitu terkoyaknya aqidah umat.

Yang mana Indonesia sebagai negara yang mempunyai jumlah umat muslim terbanyak di dunia, sekitar satu juta orang lebih, sudah barang tentu jika aqidah atau ketauhidan umat akan menjadi indikator maju dan mundurnya bangsa ini.

Dengan begitu, mesti adanya penguatan aqidah oleh berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari guru ngaji di tingkat desa, kelembagaan bertaraf nasional hingga kepemerintahan. Umara dan ulama. Mereka semua harus saling bahu membahu membangun pondasi aqidah umat.

Ustad Didi merumuskan enam poin untuk menjaga bangsa ini dari bahayanya komunisme. Enam poin ini pun tak lepas dari penguatan karakter diri aqidah umat muslim di Indonesia.

Pertama, seperti pepatah arab kuno mengatakan, syubanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah pemimpin di masa yang akan datang. Maka sungguh miris jika pemuda saat ini tidak mengenal sejarah bangsanya. Melupakan perjuangan pahlawannya. Menutup tabir kesaktian pancasila. Jadi, sudah waktunya pemuda bangun dari ketidaksadarannya bahwa ia calon pemimpin bangsa.

Kedua, keturunan. Ada lima agama yang secara formalistik diakui oleh bangsa ini, seperti Islam, Budha, Hindu, Protestant dan Katholik. Saya yakin dari perbedaan agama ini merupakan rahmat dari Allah SWT. Bagaimana tidak, ini menjadi kekuatan kita bersama.

Ketiga, bahasa. Bayangkan ada berapa banyak bahasa di negara ini. Jika kita mampu menghitung jumlah bahasa dari skat suku, agama, dan ada istiadat saja, ini sudah sangat banyak sekali, sekitar ribuan bahasa. Lagi-lagi perbedaan dalam dimensi bahasa ini yang menjadi kekuatan bangsa kita.

Mengapa saya katakan hal tersebut. Bagi saya bangsa ini sangat berbeda dengan negara yang ada di timur tengah, yang hanya punya homogen-kultural di masyarakatnya. Sangat sedikit perbedaan suku dan ras di sana. Sebut saja Syuria, negara yang luasnya tak sampai dari sentengah luas negara kita. Penduduknya tak bisa menandingi jumlah populasi penduduk bangsa ini. Mirisnya di sana masih bisa terjadi perang antar sesama saudara.

Poin selanjutnya, Al-adatu Muhakamatu, bunyi dari salah satu qoidah fiqiyah mengartikan bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Adat. Perilaku yang masyarakat lakukan dengan kesepakatan bersama, lalu terjadi berulang kali sehingga menjadi norma, yang tanpa disadari oleh masyarakat sendiri menjadi hukum tak tertulis.

Umpamanya di salah satu daerah apabila ada seorang pemuda yang berkunjung ke rumah perempuan dilarang di atas jam enam sore ke atas karena khawatir fitnah jika bertemu pada waktu malam. Kesepakatan bersama itulah merupakan norma di daerah nya.

Sangat sesuai jika adat dijadikan tolak ukur kemajuan bangsa. Sebab apabila di negara ini setiap daerah nya mempunyai adat yang sesuai dengan syariat islam, maka itu akan membentuk budaya positif di masyarakat. Kemandirian masyarakat bagi setiap daerahnya berpotensi melahirkan kemajuan negara.

Sejarah. Poin keelima dari menjaga keutuhan bangsa ini mampu menyatukan antara ribuan skat budaya, ras hingga suku di Indonesia. Jangan melupakan sejarah, begitu ucap presiden soekarno dalam pidatonya yang sudah mengingatkan kita.

Tiga setengah abad kita telah dijajah oleh belanda dan dua setengah tahun dijajah oleh Jepang. Penindasan. Perampasan hak. Romusa. Kerja Rodi. Hal ini menyatukan rakyat Indonesia untuk mengangkat bambu runcing, yaitu adanya persamaan ideologi, sama-sama pernah menjadi manusia yang dijajah. Benar, sejarah menyatukan.

Terakhir, cinta tanah air. Jauh sebelum bangsa ini merdeka KH Hasyim Asyari selaku pendiri Nadhatul Ulama pernah menyampaikan, hubbul wathon minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman. Semua yang ada di dunia ini bagi saya akan punah, membias, hilang jika tidak ada cinta.

Banyak cara memang untuk mengimplementasikan arti cinta tanah air, bisa dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan yang lainnya. Bagi saya, ada satu aspek yang paling penting dalam menjaga tanah air yaitu aspek pancasila.

Pancasila inilah alasan cintanya kita kepada Indonesia. Sempurnanya rumusan pancasila mampu memformulasikan kesatuan bangsa. Sehingga aneh saja jika masih ada segilintir kelompok yang mengaku cinta tanah air  tapi ingin mengubah pancasila. Pertanyaannya tanah air yang mana yang mereka cintai? itu kamuflase.
Ditulis oleh Iman Taufik Muas tulisan ini dipersembahkan untuk kakek saya sebagai pejuang garda terdepan aqidah di desanya, yang hari ini meninggal, KH. Sobri bin Niman.