Bahasa : Simbol Ibadah dan Peradaban

498

Oleh : Farid Farhan *)

“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya arab. Bukan untuk aku menjadi ana, sampeyan menjadi antum, sedulur menjadi akhi. Kita pertahankan milik kita. Kita harus filtrasi budayanya, bukan ajarannya” – Gus Dur

Koentjaraningrat menetapkan tujuh unsur penting yang menopang kristalisasi tradisi menjadi kebudayaan. Saat kebudayaan telah mapan, maka peradaban sebuah komunitas manusia akan menemukan bentuknya. Pada tahapan ini kita tidak bisa lagi bicara tinggi rendahnya sebuah peradaban dengan peradaban yang lain, karena secara antropo-sosial perbandingan peradaban bukanlah bentuk stratifikasi, melainkan diferensiasi. Ia sejajar antara satu dengan yang lain.

Tujuh unsur penting kebudayaan itu ia sampaikan dalam buku ‘Pengantar Ilmu Antropologi’ yakni Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Organisasi Sosial, Sistem Teknologi, Sistem Ekonomi, Sistem Religi dan terakhir Sistem Seni. Seluruh sistem ini exist dan menjadi kerangka bagi kehidupan peradaban umat manusia secara universal.

Sudah menjadi fakta sejarah yang tiada bisa kita bantah bahwa Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT di jazirah Arab dengan segenap unsur budaya dan kemapanan peradaban yang mengiringinya. Meski sebagian pihak seringkali menolak jika dikatakan masyarakat Arab pra Islam sebagai masyarakat berperadaban. Tetapi adalah fakta bahwa saat itu sudah terdapat sistem ekonomi yang mapan dan perkembangan kesusastraan bahasanya, tidak bisa kita katakan buruk.

Al Qur’an sebagai Mu’jizat, saat itu juga berfungsi sebagai bentuk ta’jiz atau membuktikan ketidakmampuan masyarakat setempat untuk menyamai atau bahkan untuk sekedar menirunya. Para mufassir pun membutuhkan ajian kedigdayaan sastra tingkat tinggi manakala berusaha membedah teks-teks Al Qur’an baik secara semantik bahasa maupun secara gramatikanya. Tidak seperti kita hari ini yang seringkali petantang-petenteng dengan hanya berbekal Al Qur’an terjemahan produk lembaga tertentu.

Pemilihan ‘lisaanun ‘arabiyyun mubiin’ (bahasa Arab yang nyata) sebagai simbol pengantar bahasa Al Qur’an tentu sangat tepat bahkan menjadi perkara ‘tauqifiy’ yang tidak bisa kita perdebatkan. Ia sudah merupakan ‘sunnatullah’ atau sebagian kalangan menyebutnya ‘adatullah’ atau adat kebiasaan Allah dalam rangka memberikan penjelasan wahyu yang Ia turunkan tentang nilai-nilai Ilahiyyat termasuk juga nilai-nilai kemanusiaan sebagai bekal membangun peradaban Qur’aniy.

Dalam konteks ini, Allah sendiri dalam Kalam-Nya yang Agung itu menyampaikan kepada kita sekalian, tepatnya dalam Surat Ibrahim : 4

“dan tidaklah kami mengutus satu utusan kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya, agar ia menjelaskan kepada mereka, maka Allah menyesatkan orang yang Ia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang yang Ia kehendaki, dan Dia Maha Agung lagi Maha Bijaksana” (QS 14 : 4)

Ibnu Katsir memberikan penjelasan terhadap ayat ini dalam salah satu master piece karyanya “Tafsir Qur’anul Adziim”. Ia berkata bahwa kebijakan mengutus utusan atau dalam bahasa lain disebut Rasul dengan bahasa kaumnya sendiri adalah semata bentuk kelembutan dari Allah SWT kepada ciptaan-Nya.

Tujuannya, tidak lain agar Sang Rasul memahami keinginan kaumnya dan mampu menjelaskan tentang maksud daripada risalah yang ia bawa. Lebih lanjut ia menyitir Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Hanbal berkata “Telah bercerita kepadaku Imam Waki’ dari Umar bin Dzar, Katanya berkata Mujahid dari Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda :

“Allah SWT tidak pernah mengutus seorang Nabi kecuali dengan bahasa kaumnya,”

Hal ini dilatarbelakangi juga oleh dua hal yang juga termaktub dalam ayat tersebut. Pertama, saat penjelasan risalah sudah dipaparkan kepada kaumnya itu dan saat aneka macam hujjah telah ditegakan di hadapan kaumnya itu. Maka latar belakang yang kedua memenuhi syaratnya untuk dijawab yakni Allah menyesatkan manusia yang Ia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada manusia yang Ia kehendaki. Lantaran Ia Maha Agung nan berkuasa, segala sesuatu yang Ia kehendaki pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Seluruh Nabi dikhususkan bagi kaumnya dan dengan bahasa kaumnya.

Kekhususan yang lebih khusus diterima oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ibnu Katsir melanjutkan sitirannya, kali ini ia menyitir Hadist Shahihain (Bukhari Muslim). Dari Jabir , Rasulullah SAW bersabda :

“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada para nabi sebelumku, Aku ditolong dengan kesempitan dada musuh dalam jarak perjalanan satu bulan, Dijadikan bagiku bumi ini tempat sujud lagi mensucikan, Dihalalkan bagiku harta rampasan perang yang tidak dihalalkan bagi nabi sebelumku, Diberikan kepadaku Syafa’at, dan nabi sebelumku diutus untuk kaumnya, sementara Aku diutus untuk seluruh manusia,”

Stempel Allah SWT yang memberikan kewenangan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk mendakwahkan Agama Tauhid inilah yang menjadikan nilai kultur Arab berupa bahasa yang tersemat di dalam Al Qur’an itu kemudian bersinggungan dengan kultur kebudayaan lain di seluruh dunia. Alih bahasa dan penafsiran ramai-ramai dilakukan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kita ketahui bersama bahwa saat sesuatu sudah memasuki ranah tafsir, maka aneka interpretasi pasti menghiasi tafsir itu. Dunia penulis, dunia teks itu sendiri dan dunia kita, dunia pembaca menjadi bayang-bayang yang boleh jadi menjadikan kita teduh saat tinggal didalamnya, namun bisa juga sebaliknya, bayangan itu pula dapat menjadikan kita terhalang dari hakikat maksud dan tujuan wahyu Al Qur’an yang sebenarnya.

Quote Gus Dur yang saya kutip saat memulai tulisan ini sebenarnya menjadi peringatan tegas bagi kita bahwa dalam Agama Tauhid sejatinya terdapat nilai ajaran yang berasal dari wahyu Qur’aniy dan terdapat pula bayang-bayang kebudayaan yang mengiringinya. Kita diharuskan mengambil ajaran dengan tetap berpijak pada dasar budaya dimana kita lahir, tumbuh, berkembang hingga kelak suatu saat mati.

Kebudayaan sendiri bukanlah sesuatu yang ‘najis’ dan tidak boleh dipakai dalam kehidupan. Ia justru menjadi ruh sosial, bahkan sampai menjadikan satu pembeda antara komunitas manusia dan gerombolan binatang hutan. Kebudayaan terutama unsur bahasa diangkat setinggi-tingginya oleh Allah dalam Kalam-Nya yang Agung.

Allah SWT berfirman :

“dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah itu adalah penciptaan langit dan bumi, dan perbedaan bahasa kalian dan warna kulit kalian, sesungguhnya tanda-tanda tersebut menjadi tanda bagi sekalian semesta alam,” (Surat ar Ruum ; 22)

Kembali saya akan mengutip penjelasan Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini. Ia berkata bahwa tingginya langit dan luasnya bumi menjadi tanda keagungan penciptaan Allah SWT terhadap makhluk-Nya. Dalam konteks perbedaan bahasa ia juga berkomentar bahwa tidak ada yang mengetahui keseluruhan perbedaan bahasa keturunan Adam selain Allah SWT, sebagian berbahasa Arab, sebagian berbahasa Romawi, sebagian berbahasa Kurdi, sebagian berbahasa Barbar, sebagian berbahasa Afrika, sebagian berbahasa Hindi dan bahasa-bahasa lainnya.

Termasuk soal rupa atau warna kulit, ia berujar tidak ada rupa yang sama dari masing-masing manusia, pastilah selalu ada unsur pembeda baik dari tingkah maupun cara bicara saat terdengar jelas ataupun dengan cara berbisik, akan jelas perbedaannya saat diperhatikan dengan seksama. Andai pun ada satu kelompok manusia yang menyerupai kelompok yang lain, selalu saja dapat ditarik unsur perbedaan dari satu dan lainnya.

Selain diberikan tempat yang agung di dalam Al Qur’an, bahasa yang sekali lagi saya tegaskan menjadi unsur penting kebudayaan, juga mendapatkan tempat yang tidak bisa dikatakan remeh dalam peribadahan sehari-hari, baik dalam konteks ibadah mahdhoh maupun ghair mahdhoh.

Dalam konteks ibadah mahdhoh, saat menafsirkan Surat al Anfal : 205 yang berbunyi :

“dan Ingatlah Tuhanmu dalam dirimu dengan segenap kerendahan hati dan penuh rasa takut dan dengan tidak menggunakan suara yang keras di waktu pagi dan waktu petang, dan janganlah kamu termasuk ke dalam golongan yang lupa,”

Syaikh Nawawi al Bantani, tokoh asal daerah Tanaro, Banten yang bergelar ‘Sayyidu ‘Ulamail Hijaz’, seorang Mufti di Masjidil Harom dalam Kitab Tafsirnya yang berjudul ‘Muraah Lubaad’ atau kita kenal dengan nama ‘Tafsir Munir’ memberikan pandangannya tentang sisi penting bahasa yang dipakai oleh komunitas manusia sesuai dengan alam peradabannya masing-masing.

‘Ulama yang saat remaja pernah berguru kepada Raden Haji Muhammad Yusuf atau Baing Yusuf Purwakarta ini menyampaikan dengan tegas bahwa simbol-simbol bahasa lain (bahasa Arab) yang digunakan saat berdzikir haruslah diketahui maknanya sesuai dengan perbandingan simbol bahasa yang dimiliki oleh pedzikir. Hal ini penting untuk menyatukan lisan yang mengucapkan bahasa lain itu dengan hati yang menyelami makna dari bahasa lain yang diucapkannya. Tanpa ini, menurut dia, dzikir tidak akan pernah mendatangkan kegunaan.

Pun dalam konteks ibadah ghair mahdhoh, ibadah berupa pengabdian interaksi sesama makhluk. Dalam sebuah Hadist dikatakan ;

“Siapapun yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah” –Hadist

Hadist ini menjadi refleksi bagi kita, betapa ucapan ‘Terima Kasih’ atau dalam bahasa Sunda dikenal dengan ‘Hatur Nuhun’ kepada sesama manusia, menjadi perantara nyata hakikat pengabdian kepada Allah SWT. (*)

*) Penulis adalah pegiat sosial media di Kabupaten Purwakarta