“BAGONG” dibalik perkuwuan ***Bagian empat (akhir)

61

Saking eksentriknya, dalam sebuah pagelaran wayang, kemunculan kelompok punakawan, terutama BAGONG tentunya selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa.

Para Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni “goro-goro”, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena)”.

Para Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Maka, suara punakawan secara keseluruhan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hati nuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.

Kelompok punakawan ini dalam keseharian mengemban tugas menemani atau mengabdi kepada para bendhara (tuan)nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.

Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat.

Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar. Pada intinya, pasukan Punakawan bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau “kareping rahsa” (nafsu al mutmainah).

Ditinjau dari perspektif politik, maka seorang BAGONG dalam helatan Pilwu dapat berperan sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat, tak lain yg mengemban amanat penderitaan rakyat, sebagai penyambung lidah rakyat juga tak luput melakukan kritikan, nasehat, dan usulan.

Peran strategis BAGONG ini tentu tidak saja berhenti sampai fase pemilihan Kepala Desa berakhir dan lepas begitu saja setelahnya. Justru yg terpenting adalah bagaimana kemudian ia dapat menjadi pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan kelak ketika terpilih.

Dalam khasanah spiritual Jawa, BAGONG dan para punakawan lain dapat menjadi personifikasi hakekat Maha guru sejati setiap manusia. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Mereka bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara serta netepi kodrat yg Maha Kuasa dengan selalu berupaya “semareka den prayitna” (menidurkan diri dengan mengekang hawa nafsu, agar batinnya selalu eling lan waspada).

“Wallohu a’alam bi as-showab”