Bagaimana Subhan ZE Mendidik Kader NU

677

Bagi Ahmad Zainaldi Zainal Asjikin, rumah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, itu tak mungkin dilupakan. Ya, rumah di Jalan Banyumas nomor 4. Ia hampir tiap minggu ke rumah itu. Kadang dua minggu atau sebulan sekali. Jika lama tidak datang karena tugas-tugas sekolah, maka ketika datang lagi akan ditanya pemilik rumah itu, “kamu kemana saja?”

Pemilik rumah yang bertanya tersebut, adalah Subhan ZE, tokoh NU (waktu itu partai) fenomenal di zamannya. Ketika ia dinonaktifkan dari NU, seorang kiai besar di Yogya berkomentar, “NU tanpa Subhan, menjadi partai tahlilan.”

Ahmad Zainaldi Zainal Asjikin, selanjutnya Zainal karena ia memang suka dipanggil begitu, adalah salah seorang pelajar yang ditakdirkan bisa berguru langsung kepada Subhan ZE. Berguru dengan cara menyimak perkataan dan perbuatan Subhan secara informal

Zainal aktif ke rumah Subhan sejak usia 18 tahun, ketika menjadi Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Ia pergi Sabtu sore ke Jakarta. Pulang kembali ke rumahnya Ahad sore.

Pada tahun 1968, rumah Subhan adalah tempat nongkrongnya para aktivis baik muda maupun tua. Tempat parkirnya para intelektual, baik muda maupun tua. Tempat datangnya segala kalangan.

“Dan rame terus. Seperti pasar. Di antara tokoh NU, rumah gerakan itu rumah Pak Subhan, dan yang datang itu bukan hanya orang NU,” kata pria kelahiran 1951 ini.

Di rumah Subhan berkumpul orang-orang yang di kemudian hari menjadi tokoh nasional seprti Adnan Buyung Nasution, Cosmas Batubara, Mar’i Muhammad, Zamroni, Asnawi Latif, Tosari Wijaya, dan lain-lain.

Setiap orang yang datang ke rumah itu, harus makan. Wajib. Subhan akan marah jika ada tamunya tidak makan. Sehingga itu menjadi kesepatakan tidak resmi bagi tamunya untuk bersedia makan. Dapur rumah itu pun selalu mengepulkan asap setiap waktu.

Suatu ketika Zainal bertanya kepada Subhan, “Kenapa setiap orang yang datang ke rumah ini harus makan terlebih dahulu sebelum ngobrol?”

“Bodoh kamu! tolol kamu!” jawab Subhan sambil tangannya mendorong jidat Zainal.

“Orang yang lapar itu, kalau ngomong tidak akan bener!” terang Subhan.

Kode kedua, menurut Zainal, jangan pulang mengeluh tidak mempunyai ongkos sebab Subhan akan tersinggung.

“Jangan bilang tidak punya ongkos. Dia (Subhan) akan tersinggung karena tanpa diminta, pasti akan dikasih karena beliau itu berbagi dengan semua orang,” ujar pria yang mengaku mewajibkan diri membaca buku minimal dua jam sehari.

Suatu ketika, Zainal dan salah seorang temannya, atas nama pengurus IPNU datang ke rumah itu. Ia menceritakan bahwa IPNU Karawang akan mengadakan kegiatan.

“Jadi kegiatan itu tanggal berapa? Ini uang untuk kegiatan, ini untuk sangu (ongkos) di jalan,” begitu kata Subhan.

Apa makna di balik itu? Menurut Subhan, kamu saya kasih seperti itu (dengan dua uang terpisah), agar kamu tidak korupsi! Tidak korupsi!

***

Di masa tuanya, Zainal mengenang pertemuan-pertemuan itu sebagai pelajaran politik sejak usia dini. Dan memang ia menjadi politikus selama 27 tahun di Partai Persatuan Pembangunan dan 11 tahun di Partai Kebangkitan Bangsa. Ia sempat jadi anggota DPRD kabupaten dan provinsi. Namun sekarang pensiun dari partai mana pun.

Bagi Zainal, teladan tokoh NU yang urgen sekarang dan makin langka adalah tokoh senior dan hebat masih mau menemui anak muda yang sedang tumbuh dan belajar.

Sedangkan tokoh lama seperti Subhan melakukannya. Subhan yang kalau adu debat soal ekonomi tak ada yang bisa melawan argumentasinya. Subhan yang waktu itu kaya-raya dan flamboyan, tapi tak menutup diri. Subhan yang waktu itu tokoh teras di organisasi kiai. Subhan yang waktu itu disegani pemerintah Orba. Disegani kawan dan lawan. Namun masih ngemong kader IPNU.

Hal yang sama, Zainal dapatkan kepada tokoh NU lain seperti KH Idham Chalid, Asrul Sani, Usmar Ismail, KH Ahmad Syaichu. Mereka care. Mereka menerima. Mereka mengajak bicara dan diskusi.

“Dan hebatnya tokoh dulu, kita bisa diterima. Dia (Idham Chalid) waktu itu menteri, tapi saya bisa diterima,” kata pria beranak empat ini yang dinobatkan sebagai Ketua Cabang IPNU termuda tahun 1968 oleh Ketua Umum IPNU Asnawi Latif pada pelatihan tingkat nasional di Lampung.

Menurut Zainal, pertemuan dengan tokoh-tokoh itu diawali dengan keberanian untuk bertemu. Pada waktu Ketua Cabang IPNU, ia memberanikan diri meminta bantuan dana ke Jakarta. Ia datang ke rumah Subhan. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa itu.

Yang jelas, dalam benak aktivis PMII tahun 70-an ini, sikap egaliter, sering memarahi, ngomelin, berbagi dengan semua orang adalah hal yang diingat dari Subhan. Dan itu menjadi pendidikan politik baginya.

Peran politik Subhan, kata Zainal, waktu itu adalah meyakinkan partai NU dan partai-partai lain untuk mengikuti Pemilu 1971. Pemilu tahun itu adalah pemilu paling “jahanam” dalam ingatannya karena kecurangan-kecurangan partai yang berafiliasi dengan pemerintah sudah dilakukan jauh hari. Maka partai politik lain enggan mengikutinya.

Namun Subhan berpikiran lain. Betapapun liciknya partai lain, Partai NU harus ikut agar rakyat tahu betapa pentingnya pemilu yang benar. (Abdullah Alawi, disarikan dari wawancara dengan Ahmad Zainaldi Zainal Asjikin di gedung PWNU Jawa Barat Jumat 5 November 2016-11-06

Sumber : NU Online