AWAL MULA UMAT ISLAM MENGUNAKAN PENANGGALAN HIJRIYAH

35

AWAL MULA UMAT ISLAM MENGUNAKAN PENANGGALAN HIJRIYAH

Semua informasi yang tertulis di sini bersumber dari sebuah kitab kecil karangan ulama terkemuka yang lahir pada abad ke 8 Hijriyah, Imam Jalaluddin As-Suyuthi yang berjudul ‘الشماريخ في علم التاريخ’ (Acuan dalam Ilmu Sejarah —red)

Sebelum beranjak ke pembahasan awal mula penetapan tahun Hijriah, terlebih dahulu harus kita ketahui bahwa orang Arab pra-Islam belum mempunyai hitungan tahun tersendiri untuk menetapkan tahun seperti yang kita lakukan sekarang ini.

Namun, mereka punya cara unik untuk menandai waktu-waktu yang mereka anggap penting seperti waktu kelahiran, kematian, dan lain sebagainya. Yaitu dengan berpatokan pada sebuah peristiwa besar yang terjadi di zaman tersebut. Sebagai contoh, kelahiran Rasulullah SAW bertepatan dengan usaha penghancuran Ka’bah oleh Abrahah dkk. Kebetulan, Abrahah dan pasukannya saat itu datang menunggangi gajah. Karena peristiwa itu merupakan peristiwa yang besar, maka tahun tersebut disebut dengan “Tahun Gajah”.

Oleh karenanya, sejarah mencatat—meskipun para ulama ada yang bersebrangan pendapat mengenai penanggalannya—bahwa Rasulullah lahir pada 12 Rabiul Awal “Tahun Gajah”, sebagaimana sejarah mencatat bahwa khalifah pertama sayyidina Abu Bakar lahir pada dua tahun setelah “Tahun Gajah”

Kembali ke sejarah penetapan tahun Hijriah. Sekitar tahun 16 atau 17 setelah hijrah, Sayyidina Abu Musa Al-Asyari yang menjabat sebagai gubernur Yaman pada saat itu mengirim sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang mengeluhkan kerancuan titimangsa pada surat-surat yang dikirimkan oleh Umar bin Khattab.

Dalam suratnya Gubernur Yaman menjelaskan bahwa ia bingung ketika memahami perintah yang terikat dengan bulan tertentu. Seperti ketika Sayyidina Umar bin Khattab memerintahkan Gubernur untuk mengajarkan warga Yaman ilmu warisan (faraidh) pada bulan Rajab. Namun karena jauhnya jarak tempuh dari Madinah ke Yaman akhirnya surat perintah itu sampai ke Yaman setelah bulan rajab berlalu, misalnya bulan Sya’ban/Ramadan.

Maka sang Gubernur dibuat bingung memahami perintah yang dimaksud, apakah perintah itu seharusnya dilaksanakan pada bulan Rajab kemarin yang telah lewat, atau pada bulan Rajab di tahun yang akan datang.

Berawal dari kerancuan dan saran dari Gubernur Yaman inilah akhirnya sayyidina Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat dan bermusyawarah dengan mereka untuk menyingkap titik terang dalam mengatasi masalah penetapan tahun.

Dalam musyawarah tersebut ada seorang sahabat yang mengusulkan agar umat Islam sebaiknya mengikuti tahun yang dipakai bangsa Romawi. Namun usul tersebut ditolak karena tahun Romawi sudah berlangsung sangat panjang dan menyulitkan untuk diikuti.

Ada pula yang memberi usul agar mengikuti tahunnya orang-orang Persia. Namun, usul ini juga ditolak karena Tahun Persia selalu berganti-ganti mengikuti pergantian Kaisar mereka sehingga tidak bisa dijadikan patokan.

Setelah musyawarah yang panjang, akhirnya para sahabat sepakat untuk memulai tahun Islam berpatokan dengan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan Rasulullah SAW (hal ini dilakukan sebagai bukti cinta mereka kepada beliau)

Musyawarah tersebut menelurkan 4 poin yang menjadi kesepakatan patokan awal tahun umat Islam:
1. Kelahiran Rasulullah SAW
2. Wafatnya Rasulullah SAW
3. Diutusnya Rasulullah SAW
4. Hijrahnya Rasulullah SAW

Kemudian Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengusulkan untuk menjadikan peristiwa Hijrahnya Rasul sebagai patokan utama dalam memulai tahun Islam, hal ini dilandasi karena beberapa alasan:

1. Tahun kelahiran Rasulullah tidak bisa dijadikan patokan karena tidak terlalu pasti kapannya. Banyak riwayat yang saling silang pendapat dalam menentukan kelahiran beliau.
2. Wafatnya Rasul juga ditolak karena tidak sampai hati menjadikan hari kesedihan itu sebagai awal tahun.
3. Tahun diutusnya Rasul juga tidak pasti kapannya sehingga ditolak untuk menghindari perselisihan.

Setelah sepakat menentukan awal tahun Hijriah, muncul lagi masalah baru. Karena penanggalan bangsa Arab mengikuti peredaran bulan tidak seperti Masehi yang mengikuti matahari, maka mereka berselisih kembali untuk menentukan bulan pertama untuk tahun yang baru ini.

Dimulai dari bulan apa tahun hijriah ini? Muharram kah? Ramadan kah? Dzul Hijjah kah? Akhirnya para sahabat kembali menyampaikan pendapat mereka.

1. Ada yang menyarankan bulan Rajab karena bulan tersebut diagungkan oleh orang-orang Jahiliyyah
2. Ada yg menyarankan Ramadhan
3. Ada pula Dzul Hijjah karena itu bulan orang-orang berhaji
4. Juga Rabiul Awal melihat sebagai bulan hijrahnya Rasul ke Madinah
5. Yang terakhir Sayyidina Utsman bin Affan menyarankan menjadikan Muharram sebagai bulan pertama, karena bulan tersebut merupakan bulan haram (yang dihormati)

Akhirnya bulan Muharramlah yang dipilih sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyah karena dinilai paling sesuai dengan keadaan. Maka sejak saat itu penanggalan tersebut yang kita gunakan hingga saat ini.

Kesimpulan dari tulisan ini:
1. Yang mengusulkan patokan tahun Hijriah: Sayyidina Ali bin Abi Thalib
2. Yang mengusulkan Muharram sebagai awal bulan: Sayyidina Ustman bin Affan
3. Penetapan tahun Hijriah ada pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar bin Khattab Radiyallahu ‘anhum
4. Tahun Hijriah mengikuti peredaran bulan dan tahun Masehi mengikuti peredaran Matahari 5. Perbedaan kalender Masehi dan Hijriah antara 11/12 hari

Demikianlah sejarah singkat awal mula penetapan tahun Hijriah dan mengapa Muharram menjadi bulan pertama. Semoga di tahun baru ini kita juga menjadi pribadi yang baru dan lebih baik dari tahun sebelumnya agar menjadi orang yang beruntung.

Sesuai sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang harinya ini lebih baik dari kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Siapa yang harinya sekarang lebih jelek dari hari kemarin maka dia terlaknat”.

Penulis: Alfaqir Andris Fajar Aziz
(Ketua Tanfidziyah MWC NU Kec. Kutawaringin, Kab. Bandung, Mudir Ma’had Assaidiyyah-Gajahmekar Bandung, Islamic Activist, Sunni, pembelajar Sirrah Nabawiyah).