Atribut Yang Beragama

908

Oleh : Yayu Nurhasanah*)

Baru-Baru ini Indonesia ramai memperbincangkan  mengenai fatwa MUI terkait haramnya memakai atribut santa dan aksesoris natal lainnya untuk umat muslim, dan Anehnya Fatwa itu cenderung di paksakan dengan adanya sweeping di berbagai tempat,yang di lakukan oleh salah satu ormas atas dasar Fatwa tersebut.

Lebih aneh lagi sekarang ada Gerakan Pengawal Fatwa tersebut yang seolah-olah menegaskan pemaksaan terhadap fatwa tersebut. Menjadi aneh Karna pada dasrnya Fatwa itu di tujukan kepada orang-orang yang membutuhkan atau yang meminta Fatwa tersebut.

Fatwa No.56 Ta16 tersebut mengambil landasan dari beberapa ayat di dalam Al-Quran, antara lain Surat Al-Baqarah ayat 42 dan 104, Surat Al-Kaafirun, Al-An’am ayat 153, Al-Mumtahanah ayat 8, dan Al-Mujadilah ayat 22, serta ditambah dengan beberapa hadist. Mereka juga memperhatikan beberapapendapat imam besar terkait hal tersebut serta fatwa unñ6m6MUI tahun 1981 tentang Perayaan Natal Bersama.

Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terkait Natal, menuai pro konta sendiri di masyarakat, karena hal tersebut seolah-oleh mengikis nilai nilai toleransi dan kebhinekaan. Terkait atribut natal tersebut sebelumnya hal ini tidak jadi problem dan dianggap hal yang biasa saja di masyarakat, hari ini simbol-simbol tersebut dikaitkan dengan kepercayaan, namun kini simbol-simbo tersebut jadi sesuatu yang sakral, lantas yang jadi pertanyaan apakah simbol-simbol itu beragama?

Artinya lebaran, imlek, natal dan semua perayaan hari raya yang basisnya nilai agama mengalami proses kebudayaan. Ikon-ikon kreasi manusia tersemat sebagai hiasan perayaan. Ikon-ikon dan atribut itu sendiri sebetulnya tidak ada hubungannya dengan agama. Tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan.

Baju koko –kemeja berkerah tegak berwarna teduh– misalnya, di Indonesia dijadikan simbol pakaian islami. Sementara oleh Jacky Chan dan Bruce Lee dalam film silat klasik menjadikan pakaian model serupa sebagai busana sehari-hari. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan keimanan.

Gamis –sejenis pakaian panjang putih yang biasa dipakai ulama disini– adalah pakaian Arab. Di Arab sana, pakaian yang sama digunakan orang dari berbagai agama. Jadi bukan melambangkan pakaian keagamaan tertentu.

Makanya saya agak kaget ketika MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan muslim menggunakan atribut Natal. Fatwa itu sendiri merujuk pada debat soal topi Sinterklas yang kadang-kadang digunakan para pekerja di mall untuk menyambut belanja menjelang Natal dan akhir tahun.

Padahal, atribut-atribut itu cuma simbol kebudayaan. Bahkan ada yang cuma simbol konsumerisme. Entah bagaimana caranya mendapat sematan nilai haram dan halal yang basisnya adalah keimanan. Sesuatu yang profan diangkat dalam perkara sakral.

Seperti biasa fatwa MUI, ada pasukan yang hendak mengawal penerapannya. Seolah fatwa itu adalah UU dan para laskar adalah polisi syariah. Makanya di Surabaya, di Jakarta terdengar kabar pasukan FPI mensweeping mall-mall untuk memastikan fatwa itu dijalankan.

Padahal fatwa ulama, di manapun, sifatnya tidak mengikat. Dia bisa diikuti bisa juga diabaikan. Mungkin saja orang lebih percaya dengan ulama lain yang berbeda pendapat. Seorang pengikut NU yang taat, tentu lebih mendengarkan omongan kyai-nya ketimbang fatwa MUI. Seorang anggota Muhamadiyah, tampaknya lebih menunggu hasil sidang komisi fatwa organisasi itu.

Tapi inilah kita. Ada sekelompok manusia yang menjadikan fatwa MUI lebih sakti dari kitab suci, lalu berusaha menegakkanya. Sekali lagi, fatwa MUI dianggap UU dan FPI bertindak sebagai polisi syariah.

Ini jelas mengacaukan sistem hukum positif kita. Jika ada ormas dibiarkan menegakkan aturan sendiri berdasarkan pendapatnya sendiri, yang terjadi seperti adanya praktek negara dalam negara. Apalagi caranya dengan memaksa. Semakin lama, ini makin memuakkan.

Padahal sebuah fatwa ulama hanya memgikat kepada mereka yang meyakininya. Artinya muslim bisa saja meyakini pendapat ulama yang berbeda dengan fatwa itu.

Repotnya jika pendapat ulama diposisikan sekelas kitab suci. Bahkan kadang lebih hebat dari kitab suci. Ketika kitab menganjurkan berlaku adil, misalnya, ada fatwa yang menuding ucapan seseorang sebagai penistaan agama. Padahal orang tersebut tidak pernah ditanyakan maksud pembicaraannya, tidak pernah diajak bicara, tidak pernah dimintai pendapatnya. Makna tabayyun atau kroscek tidak dipakai sama sekali.

Kembali pada fatwa soal haram menggunakan atribut natal, saya bertanya apakah benar ini adalah respon soal topi Santa? Apakah fatwa itu juga termasuk mengharamkan pohon cemara? Wah, kalau gitu MUI kudu mengharamkan lagu naik-naik ke puncak gunung.

“Kiri kanan, kulihat saja. Banyak pohon cemara”

Makin lama, kok beragama jadi makin ribet dan ribut terus,. Setiap bulan Desember, sebagian umat Islam seperti kebakaran jenggot. Mereka diarahkan parno dengan semua yang berbeda. Dari mulai ucapan natal sampai topi merah yang lucu, mau diurusi majelis ulama. Wallahu A’Alam Bi Shawab

* Meruapakan Mahasiswa dan kader di PC PMII Purwakarta