Argumentasi Jitu Kang Udeng, Kenapa Politik Harus Dipisahkan Dari Agama?

1434

Bandung, (ansorjabar online)
Pengamat politik Kurnia P. Kusumah memandang bahwa politik harus dipisahkan dari agama dipandang perlu ditengah maraknya politisasi agama saat ini.

Tema ini mengemuka kembali seiring pernyataan Presiden Jokowi saat peresmian Tugu Titi Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Minggu lalu.

“Pemisahan ini harus dibedakan dengan pisahnya Agama dari Negara”, kata Kurnia P. Kusumah melalui pesan aplikasi WA kepada ansorjabar online.

Menurutnya, pemisahan ini akan mengandung tiga makna. Pertama, dalam konteks etik-moral, maknanya agama tidak boleh ditunggangi untuk kepentingan politik.

“Ini yang dimaksud ayat-ayat suci dijual murah untuk mendapat uang dan jabatan, pelakunya akan kehilangan moral”, tutur pria yang akrab diasapa Kang Udeng ini.

Kedua, menurutnya menyangkut stabilitas sosial.

“Membenturkan agama dengan agama lain atau antar mazhab seagama dapat memicu keresahan sosial. Setiap pemeluk agama punya ruangnya sendiri. Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Tidak lekas gegabah mengkafirkan-kafirkan orang lain, dan cepat menuduh munafik”, bebernya.

Kemudian yang ketiga, bahwa demokrasi menjamin umat beragama memilih pemimpin yang seagama, dan atau dari agama lain.

“Pertanggung jawaban atas pilihannya itu diaserahkan kepada para pemilih. Agama tidak boleh menghukum umatnya atas pilihan politik. Inilah maksudnya politik harus dipisah dari Agama”, ujarnya.

Namun demikian, lanjut Koordinator Forum Komunikasi Generasi Muda NU Jabar ini, sikap inu bukan berarti sebagai bentuk sekularistik.

“Negara lepas dari agama berbeda makna dengan politik lepas dari agama. Politik dan Negara adalah dua bidang yang sama tapi tidak sebangun.
Negara kita tetap berdasarkan Pancasila”, lanjutnya.

Selanjutnya Kang Udeng menjelaskan, dulu kita pernah mendengar istilah politik itu “kotor”. Sebuah istilah yang pernah mengganggu atmosfir politik di zaman Belanda, maksudnya agar umat Islam merasa jijik dengan politik, kemudian meninggalkannya, sementara orang-orang Belanda yang menikmati buah politik, berupa kekuasaan.

“Kemudian para aktivis pergerakan tanah air mulai sadar itu hanyalah propaganda kosong, maka berdirilah partai-partai berlabel Islam untuk menegaskan ke-Islaman politiknya. Menyangkal, bahwa politik itu suci bukan kotor”, terang mantan aktivis PMII tahun 90-an ini.

Namun, apa yang terjadi dengan kiprah parpol berlabel Islam itu?

Menurutnya, sampai hari ini politik yang diperankan oleh aktifis-aktifis islam tidak membuat politik jadi suci dan bersih, malah semakin kotor. Tidak sedikit tokoh-tokoh parpol berbasis Islam yang kemudian tersangkut kasus korupsi.

“Korupsi merajalela dikalangan partai-partai Islam. Pimpinan-pimpinan partai sudah banyak masuk penjara. Itu artinya tukang sampah bertugas membersihkan sampah, malah nyampah. Saya kira, menjaga identitas keagamaan itu sangat berat. Pisahkan agama dari politik, supaya ringan pertanggung jawaban dihadapan Allah Swt”, pungkasnya. (edi)