​HTI : Kegagalan Memahami Konteks, Historis dan Realitas

1004

Oleh Ali Ahmad Hudaya*

Berbicara mengenai HTI hari ini, mungkin sebagian melihatnya sebagai suatu organisasi yang katakanlah seperti “serius” memperjuangkan tegaknya Khilafah di muka bumi. Klaim ini sudah sukses dan mulai mengakar dikalangan masyarakat yang kebanyakan awam. Awam disini digaris bawahi dengan “ketidaksanggupan memahami konteks Peta Indonesia secara utuh”.

Tegaknya Khilafah, adalah selogan yang selalu digemborkan HTI untuk mendapatkan simpati, dan tidak aneh jika ini mendapatkan simpatik yang luar biasa dari semua kalangan. Terlebih, history romantic tertera dalam berbagai literatur klasik, baik yang ditulis sejarawan muslim ataupun yang ditulis orientalis. Siapa yang tidak tergugah hatinya ketika dipertontonkan potret khilafah dijaman Rasulullah ? Jaman para Khulafa ar-Rassyidin bahkan jaman Dinasi Umayyah, Abasiyyah bahkan sampai Turki Utsmani.

Kekecewaan sepihak atas kepemimpinan yang terpilih secara demoktaris inilah yang membawa HTI mengambil jalur mengajak segenap lapisan Maayarakat kepada Syariat Islam dengan tegaknya Khilafah. Diangkatnya kasus korupsi, pembunuhan dan perampokan adalah salah satu yang menjadi landasan HTI untuk mengganti Pancasila dengan Khilafah.

Disinilah menarikanya. Bicara korupsi, bicara pembunuhan, jangankan dasar hukum pancasila, Sahabat Rasulullah yang menjadi pemimpin ummat yaitu Utsman Ibn Affan dan Sayyidina Ali RA mereka harus terbunuh ketika syariat Islam sudah ditegakkan bahkan Ketika masa Abu Bakar As-Syidiq, praktik korupsi ini sudah ada dengan banyaknya para pemimpin wilayah kalau sekarang gubernur dan bupati yang tidak mau membayar zakat dan menahan hasil zakat yang mau dikumpulkan. Ini menandakan, yang menjadi masalah utama adanya tindak kejahatan, kekerasan dan praktik tipu-tipu, bukan pada sistem yang sedang berjalan tapi bagaimana peran sosok yang diberi tanggung jawab dalam mengemban amanat dengan kapasitas dan kapabilitas dia sebagai pemimpin ummat.

Bicara mengenai sistem Khilafah yang diusulkan HTI ini, dikalangan Nahdiyyin masih banyak terdapat hal yang rancu dan klise. Bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dan coraknya seperti apa, pihak HTI selalu tutup mulut dan membual dengan jawaban “yaa. Yang penting Tegaknya Khilafah, titik..”.

Jika hanya terfokus pada tujuan lalu mengesampingkan proses, ini akan menimbulkan “vakum of the power” atau kosongnya kepemimpinan karena apa yang disodorkan HTI ini tak ubahnya angan, tanpa bahan tapi mau hasil tujuan. Sudah pasti alot, tegang dan bercampurnya kepentingan yang akan menunggai bahkan memecah belah dalam proses mekanisme yang akan ditempuh HTI untuk menyongsong Khilafah yang di elu-elukannya.

Dari itu, Nahdiyyin tegas menolak HTI karena HTI seperti ngigau mengganti sistem negara tapi tak pernah masuk akal dalam mekanismenya.

Contoh kecil, ada konsep Wala (kooperatif) dan baraa (Non-kooperatif). Kontraditif dikalangan HTI dan simpatisannya tidak pernah menemukan titik terang. Sebagian beranggapan, untuk maju merangkul khilafah, maka kita harus wala kepada pemerintahan yang ada dengan menyusup diparlement dan sub-sub lain agar bisa menyusupkan faham dan kepentingan golongannya. Jelas ini agak terlihat realistik. tapi ini ditolak sebagian besar ulama HTI karena jalan ini Batal. Untuk menegakkan Syariat Islam, mencontoh rasulullah itu harus baraa artinya berlepas dari kepemimpinan yang ada seperti berlepasnya Rasulullah dari pemerintahan Abu Jahal.

Lalu, konsep matang jika Indonesia dengan UUD 1945 yang pointnya dipahat dalam kelima sila pancasila, HTI ini dan simpatisannya, katakanlah yang masuk parlement, atau yang bergrilya di perkampungan, dor to dor dari satu mesjid ke mesjid lain, mereka belum ada kesepakatan antara “ahkam An-Nubuwwah, Syariat Islam dan Sistem Khilafah”. Sekedar gambaran, ketiga corak ini memang secara garis besarnya berhukum Islam, tapi mekanisme dan acuannya berbeda ada yang dari zaman Rasulullah, zaman Dinasti Umayyah dan ada yang dari Turki Utsmani. Kalau digambarkan secara perinci, rasanya tidak akan cukup dalam 10-20halaman. Mungkin dilain waktu atau pembaca mau mencari rujukan tersendiri, banyak referensinya selagi mau mencari.

Diatas ini baru bicara konsep dan mekanisme. Belum bicara konteks dan realitas. Dari hal konsep saja, HTI ini sudah mentah, dan dikalangan Nahdiyyin, hal lebih baik dimuntahkan daripada ditelan karena bisa bikin mules, arogan dan beser, kalau misal dalam bentuk makanan. Apalagi bicara Konteks dan realitas.

Kemajemukan dan keberagaman Indonesia, adalah sesuatu yang patut disyukuri adanya. Dari keberagaman ini, ulama Nahdiyyin berfikir harus ada suatu payung hukum yang mampuh menaungi segala bentuk keberagaman tadi. Karena Indonesia tidak hanya diduduki oleh Islam, kristen, Hindu dan budha saja, tapi masih banyak kepercayaan lain yang bersifat kearifan lokal. Dari kesemuanya ini sudah pasti tidak bisa ujug-ujug menerima aturan yang khusus dari Islam saja meski Islam sebagai mayoritas, tapi harus dari aturan yang dapat mewakili kesemuanya.

Maka lahirlah konsep Pancasila sebagai alternatif yang mampuh menjembatani segala keberagaman, segala perbedaan untuk tetap terrengkuh dalam bingkai Bhinneka Tinggal Ika. Sehingga jelas, bagi kalangan NU, menjadi Indonesia harua menjungjung tinggi pancasila sebagai aturan Al-habl minannas (Hubungan Kemanusiaan) dan al-habl Minallah (hubungan dengan tuhan).

Ketauhidan Sila kesatu dalam Pancasila harusnya jadi kesadaran rakyat bahwa pengejawentahan Al-Quran memang tidak tersurat sebagai syariat Islam, tapi tersirat sebagai pilihan Kyai sepuh untuk tetap menjaga NKRI dari Koyakan konfkik berkepanjangan yang harus menyita banyak waktu untuk perdebatan, sedang disisi lain kita tertinggal dari pesatnya ekonomi dan teknologi yang sudah dikembangkan negara lain.

Jadi, kepada siapa saja yang mengaku HTI dan bahkan bersimpatik kepada HTI, untuk mendukung Syariat Islam. Kaum Nahdiyyin sudah sedari dulu menyongsong Indonesia bersyariat dengan tindakan yang tidak harus tekstual. Butinya, rasa aman beribadah setiap agama seperti dicontohkan Rasulullah dalam Piagam madinah, sudah dijalankan Ulama Nahdiyyin dari dulu sampai sekarang, masih dan akan terus berjalan. Kejuhudan, kepintaran bahkan ketawadhuan Mbay Hasyim As’ary tak perlu dikorek dalil untuk melawannya dengan tidak menjalankan segala perintahnya, cukup turuti karena tak ada ulama zuhud yang menyesatkan. Kami percaya dengan analogi jika misal “Syurga” Itu Jakarta, berjalan kaki kesana tak mungkin, maka kami akan naik ojeg, naik angkot dan naik bis agar sampai dengan selamat.

Nah HTI ini taunya cuma Jakarta, tapi mereka keukeuh mau sampe ke Jakarta tanpa memikirkan cara, kendaraan apa dan harus mempersiapkan bekal apa saja, yang penting Jakarta, Jakarta dan Jakarta, walhasil terlihat seperti orang yang menyusuri jalan sambil dikuntit anak kecl beramai-rami dengar sorak gembiraa… Orang gil*.. Orang gil**….

*Penulis adalah hamba Allah yang berkhidmat kepada NU dengan aktif sebagai Anggota GP Ansor PAC Plered.